Bagiku 2 hari itu paling
menyakitkan.
“Kamu mau turun main?”,tanyanya
padaku dengan nada datar-datar saja, tidak antusias dan tidak menatapku.
Menikmatii hisapan rokoknya sendiri saja.
Sementara teman-temanku
bersemangat meyakinkanku untuk turun main. Mereka mengatakan aku bisa, aku akan
menang, bahkan mereka yang sepertinya menjawabkan pertanyaan itu untukku.
Mereka itulah teman sekaligus keluarga.
Aku sendiri antara kebingungan,
antara ya atau tidak, atau hanya sekedar malu-malu saja. Sebenarnya aku sangat
bahagia, ketika aku bermain aku merasa berguna dan membuktikan bahwa aku bisa.
Namun terkadang aku merasa takut karena ini sudah pertengahan februari, aku
hanya punya waktu latihan sekitar satu bulan saja, sementara yang lain sudah
berlatih sejak 3 bulan yang lalu, aku juga ragu apa aku bisa. Dan bagaimana
dengan………
Sudahlah..
Malu- malu kujawab “iya, aku mau main”,
disambut dengan senyum dan tepuk tangan teman-temanku. Aku tersenyum, mereka,
teman-temanku, juga tersenyum, kami pun berenang setelah perbincangan kecil
sebelum turun ke kolam renang.
Sejak pagi itu aku resmi menjadi
anggota atlit pencak silat UNNES yang akan turun bertanding di Internasional 3rd
PSHT Sebelas Maret Pencak Silat kelas Seni Tunggal. Aku mulai latihan sore
harinya, mengembalikan stamina, mempelajari kembali teknik-teknik gerakanku.
Aku bersemangat, akan aku lakukan apapun untuk bertandingan ini.
Jam 10 malam aku belum terlelap,
masih bercanda bersama teman-temanku lewat BBM. Aku tulis Personal Message di BBM
tentang temanku yang terjebak di rumah calon mertua. Hari ini penuh tawa hingga
Dia memarahiku. Dia, si Pelatih kami.
Dia memarahiku karena belum tidur
jam 10, batas tidur atlit. Dia bilang aku kurang tau diri karena tidak manut,
aku atlit, sudah didaftarkan dalam pertandingan seharusnya aku tidak egois ikut
aturan atlit dan blab la blaaa….
Meskipun aku dimarahi, aku senang
karena ini berarti aku benar-benar dilatih dan bisa sejenak melupakan itu.
Esok hari, di latihan pagi pukul
4.30, semua pemanasan seperti biasanya, namun berbeda dengan yang lain, aku dan
salah satu teman atlit lain dihukum karena tidur lebih dari jam 10. Ketika
atlit lain hanya lari 5 putaran rektorat, 5 kali repetisi endurance, aku dan
pipit harus berlari 10 putaran dan 10 kali endurance. Rasanya lelahnya tidak
bisa diungkapkan dengan kata-kata, tapi aku kuat. Aku bisa melakukannya, aku
bisa menyelesaikannya tanpa muntah, pucat atau yang lainnya. Ya, aku bisa.
Betapa semangatnya aku, berlatih
pagi-sore pagi-sore mulai goyah ketika semua mulai kembali berubah. Dia kembali
meminta ku membantu mengerjakan itu lagi. Mulai memarahiku untuk hal itu lagi,
dan aku mulai sering tidak ikut latihan karena itu lagi. Aku mulai kecewa, aku
mulai berpikir negative. Tubuhku mulai tidak stabil lagi, ketika aku
memaksimalkan tubuhku ketika latihan namun aku sendiri tidak mengontrol jam
istirahatku. Aku mulai goyah, bahkan 5 putaran pun aku muntah, aku tidak kuat
lagi. Kakiku sakit namun tidak ada yang peduli, aku minta di massage pun yang
ada hanya disalahkan tanpa ditreatment apa-apa. Yasudahlah aku tidak apa-apa,
aku terima.
Sampai H-3 pertandinganku, aku
masih berjibaku dengan itu. Dia bilang aku jangan berangkat dulu karena dia
ingin memperbaiki gerakanku, staminaku teknikku. Aku senang ketika dia
mengatakan hal itu tapi semua itu hanyalah kebohongan belaka. Dia tidak pernah
datang, dia tidak pernah melatihku, dia tidak pernah membahas tentang
latihankkku. Dia pembohong besar, pembual.
H-2 aku malah jatuh sakit,
seandainya ada yang tau, aku sangat kecewa dengan tubuhku sendiri. Aku harus
jatuh sakit didekat garis finish. Mungkin salahku, tapi mungkin juga salah dia.
Dia yang masih memintaku mengurus itu lagi, menunggunya dari jam 8, namun
akhirnya datang jam 11 malam, membuatku baru tertidur jam 00.30 malam. Esok
pagi, latihan pagi aku mulai merasa ada yang tidak beres, namun tidak aku rasa
karena aku yakin aku akan baik-baik saja. Ternyata tidak. Aku semakin memburuk.
Aku lemas, panas, dan tidak berdaya.
Aku tidak ingin menyerah, aku
tetap ingin bertanding. Aku tetap pergi ke solo, dengan segala kekesalan,
omelan banyak orang termasuk dia yang ikut memarahiku. Dalam hati aku sangat
sakit, namun aku tidak ingin berhenti. Hari Selasa, 22 Maret 2016 aku sudah
sampai di Solo, GOR UNS. Aku baik, aku sehat, aku bisa. Begitu caraku
menguatkan diriku sendiri karena besok aku bertanding untuk penyisihan.
Hari selasa mencapai pada malam
hari, aku beristirahat untuk pertandinganku esok. Aku ingin bersiap. Pagi
datang, kami berlatih ringan, aku mempersiapkan diriku, tubuhku, lalu kembali
ke penginapan. Aku tidak ingin meminum obatku karena aku takut aku akan lemas,
namun dia memarahiku lagi untuk meminum obat. Yasudah aku manut, dan ya,
setelah itu aku lemas, berkeringat, mereka meninggalkanku di mes bersama marta
untuk beristirahat. Ketika kami akan tampil kami akan dijemput. Aku tertidur
namun tidak nyenyak karena aku selalu menerka-nerka jam berapa aku akan
dijemput. Jam 11 siang mas dayat menelpon ku, menanyakan keadaanku. Aku bilang
aku baik. Tak lama mas dayat dan mas kurni datang ke penginapan, duduk di
sampingku. Wajahnya serius.
“An, keadaanmu gimana?” Tanya mas
kurni
Aku mulai merasa tidak nyaman
dengan ini, nada bicaranya, tatapannya, raut wajahnya tidak seperti biasanya.
“Aku baik” jawabku singkat
“An, kalau misal kamu ndak kuat,
kamu ga jadi ikut tanding nda apa-apa. Biar nanti aku bilang sama panitianya
kamu gak bisa tanding karena sakit? Kamu kayaknya pucat gitu, itu juga untuk
kesehatanmu”
Rasanya aku ingin menangis
sekencang-kencanganya, hatiku hancur, tubuhku lemas mendengar pertanyaan itu.
Aku ingin membanting HP yang ada di tanganku. Apa kalian tidak tau betapa aku
menguatkan diriku sendiri, betapa keras aku mengalahkan rasa sakitku sendiri.
Dan dengan mudahnya kalian mengatakan hal itu. ITU SANGAT JAHAT!!! DIA!!! Pasti
dia yang menyuruh mas kurni dan mas dayat mengatakan hal ini padaku. DIA!! DIA
ORANG JAHAT!!!
“Aku sudah disini! Untuk apa aku
disini kalau tidak main?!” jawabku bergetar berusaha menahan tangis
“Bener main?” mas kurni
meyakinkan
“Iya” jawabku dilantang-lantangkan
“Ya, tunggu disini. Nanti
dijemput”
Mas kurni dan mas dayat pergi,
mereka memintaku bersiap-siap nanti akan segera dijemput karena jadwal untuk
seni tunggal main mulai jam 1 siang.
Aku dan marta bersiap-siap. Aku
mulai khawatir karena sudah jam 12.15 tidak ada yang menjemputku dan marta. Aku
lemas karena obat dan belum makan, aku khawatir aku tidak punya tenaga
nantinya. Aku mulai deg-deg an. Hingga jam 12.30 mas rio datang menjemputku.
Sesampainya di gor, aku ingin langsung bertemu kontingen untuk meminta mereka
membantuku mempersiapkan diri. Tapi tidak bisa, karena mas rio menyuruhku dan
marta untuk bertemu dengan Dia. Aku hanya bisa manut, dibawah pohon, di warung
lesehan itu kami hanya duduk-duduk saja. Aku semakin tidak karuan, antara panic
dan muak melihat wajahnya. Disaat seperti itu dia masih saja memarahiku untuk
hal-hal teknis. Aku meminta teman-temanku untuk datang membantuku bersiap-siap.
Mereka juga panic, mereka juga gugup karena sudah hampir jam 1 dan aku belum
apa-apa. Semua dilakukan dengan tergesa-gesa, pertama aku dandan dengan
tergesa-gesa, belum selesai disuruh makan, makan pun baru 3 suap sudah dimarahi
tidak boleh makan lagi,. Ya Tuhan aku masih lemas!! Baru selesai minum sudah
harus pemanasan lagi. AAAAAAAAAAAAAAAAhhhhhhhhhhhhh semuanya benar-benar
terburu-buru. Hal yang paling membuatku muak adalah ketika aku sedang
didandani, aku dengar sayup-sayup dia bilang tidak akan nonton pertandingan
seni. Dalam hati, aku berteriak, PERGILAH!! PERGI YANG JAUHHH. AKU TIDAK INGIN
MELIHAT WAJAHMU!! AKU MUAK DENGAN WAJAHMU
Semua siap, aku menyiapkan diri,
aku berusaha tidak lapar. Aku menanti dengan gugup. Berjam-jam aku duduk saja
menanti giliranku. Dan pada akhirnya aku baru tampil jam 7 malam. Ternyata aku
lemas, aku tak punya tenaga. Singkat kata aku kalah. Setelah tampil aku tidak
punya daya, kakiku lemas tak kuat berdiri tapi aku tidak menangis. Aku sadar
diri, aku lemah, gerakan ku tidak bagus, aku menerima.
Butuh waktu beberapa menit memang
untuk mengembalikan tenagaku kembali, tapi aku baik, aku plong. Hal yang tidak
membuatku baik adalah Dia.
Dia meminta aku, marta dan mas
kurni untuk kembali ke penginapan. Di dalam mobil dia menceramahiku tentang
kondusif dan tidak, tentang prepare dan sebagainya. AKU BENCI DIA! Sesampainya
di penginapan dia masih membentakku, dia memarahi mas kurni untuk segala
kesiapan pertandingan. Dia dengan segala powernya selalu memarahiku,
menyalahkanku dan mas kurni. Yasudahlah diterima saja.
Pagi hari, jadwal bertanding
untuk ganda putra, ganda putrid, dan beregu. Kami mempersiapkan semuanya dengan
sebaik mungkin. Mas dayat dan mas kurni memintaku menjadi official sementara
mereka menjadi timer. Baiklah. Aku siap.
Aku menemani ganda putra, bersiap
di tempatnya, mereka begitu gugup, mas kurni, mas dayat, aku dan ganda putra
berdoa bersama. Khusyuk kami memohon penampilan yang maksimal. Ganda putra
terlihat begitu gugup, aku mencoba menguatkan mereka, aku membuat mereka tidak
gugup, setidaknya dengan tersenyum supaya tidak begitu beban. Mereka
bertanding. Sorak sorai pendukung diseberang sana, sayup sayup aku melihat
bayang-bayang dia. Dia yang diantara para penonton lainnya.
Wow. Itu yang dikatakannya tidak
akan menonton saat seni main. Ucapannya itu yang tidak bisa dipercaya. Hatiku
sakit. Seketika aku tau dia hanya malu tentang aku. Aku yang main tunggal. Dari
awal dia memng tidak pernah serius melatihku.
Ganda putra lebih 6 detik dari
waktu yang seharusnya, itu membuat nilai mereka minus sangat banyak. Kecewa
memang, karena hal itu mereka harus puas hanya dengan juara 2. Aku menunggu
giliran untuk ganda putri main. Singkat cerita aku meyakinkan mereka bahwa
mereka bisa, wanita lebih riweh dari laki-laki, mereka lebih gugup. Sama
seperti ganda putra, aku membuat suasana lebih cair dengan membuat mereka
tersenyum, tidak tegang. Dan akhirnya saatnya mereka main. Mereka menang,
mereka bermain bagus.
Kami kembali ke rombongan, dan
semakin jelas kulihat dia berdiri menonton ganda main. Mereka mencium tangannya
sementara aku terhenti, masih muak dengannya karena dia berada disini. Belum
sempat apa-apa, tangannya menampar pipi kiri ku. Aku sangat terkejut, rasanya
tidak sakit di pipi, tappi hatiku terasa sangat sesak. Rasanya sakit sekali.
Apalagi ini? Salah apa lagi aku?
Dia memarahiku karena aku
membuuat atlitnya tertawa saat akan bertanding, dia bialang aku seharusnya
membuat atlitnya tenang, bukan tertawa-tawa. Dan bla blaa blaaaaa…….. dan pada
akhirnya dia mengatakan kalau seharusnya ganda putra bisa menjadi juara 1. Dia!
Ternyata dia menyalahkanku untuk kekalahan ganda putra. Kau tau betapa sakitnya
aku, betapa terlukanya hatiku. Tamparan itu, kata kata itu, wajah itu
menyiksaku. Bahkan kau selalu mempermalukanku di depan semuanya, seakan aku
iini orang paling bodoh diantara semuanya. Aku tidak pernah kau hargai.
Dia, karena dia aku membenci
diriku sendiri. Dia yang terus memarahiku untuk semua hal yang aku lakukan. Dia
yang malu tentang aku. Dia yang terus memanfaatkan aku. Terima kasih untuk dia.
Terima kasih karena terus membohongiku. Sekarang aku membenci dirimu! Kini, Aku
sangat takut jatuh cinta lagi. Aku membenci laki-laki (lagi).