Minggu, 27 Maret 2016

Aku Wanita, dan ini Hati...

Bagiku 2 hari itu paling menyakitkan.

“Kamu mau turun main?”,tanyanya padaku dengan nada datar-datar saja, tidak antusias dan tidak menatapku. Menikmatii hisapan rokoknya sendiri saja.
Sementara teman-temanku bersemangat meyakinkanku untuk turun main. Mereka mengatakan aku bisa, aku akan menang, bahkan mereka yang sepertinya menjawabkan pertanyaan itu untukku. Mereka itulah teman sekaligus keluarga.

Aku sendiri antara kebingungan, antara ya atau tidak, atau hanya sekedar malu-malu saja. Sebenarnya aku sangat bahagia, ketika aku bermain aku merasa berguna dan membuktikan bahwa aku bisa. Namun terkadang aku merasa takut karena ini sudah pertengahan februari, aku hanya punya waktu latihan sekitar satu bulan saja, sementara yang lain sudah berlatih sejak 3 bulan yang lalu, aku juga ragu apa aku bisa. Dan bagaimana dengan………
Sudahlah..

Malu- malu kujawab “iya, aku mau main”, disambut dengan senyum dan tepuk tangan teman-temanku. Aku tersenyum, mereka, teman-temanku, juga tersenyum, kami pun berenang setelah perbincangan kecil sebelum turun ke kolam renang.
Sejak pagi itu aku resmi menjadi anggota atlit pencak silat UNNES yang akan turun bertanding di Internasional 3rd PSHT Sebelas Maret Pencak Silat kelas Seni Tunggal. Aku mulai latihan sore harinya, mengembalikan stamina, mempelajari kembali teknik-teknik gerakanku. Aku bersemangat, akan aku lakukan apapun untuk bertandingan ini.

Jam 10 malam aku belum terlelap, masih bercanda bersama teman-temanku lewat BBM. Aku tulis Personal Message di BBM tentang temanku yang terjebak di rumah calon mertua. Hari ini penuh tawa hingga Dia memarahiku. Dia, si Pelatih kami.
Dia memarahiku karena belum tidur jam 10, batas tidur atlit. Dia bilang aku kurang tau diri karena tidak manut, aku atlit, sudah didaftarkan dalam pertandingan seharusnya aku tidak egois ikut aturan atlit dan blab la blaaa….
Meskipun aku dimarahi, aku senang karena ini berarti aku benar-benar dilatih dan bisa sejenak melupakan itu.

Esok hari, di latihan pagi pukul 4.30, semua pemanasan seperti biasanya, namun berbeda dengan yang lain, aku dan salah satu teman atlit lain dihukum karena tidur lebih dari jam 10. Ketika atlit lain hanya lari 5 putaran rektorat, 5 kali repetisi endurance, aku dan pipit harus berlari 10 putaran dan 10 kali endurance. Rasanya lelahnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tapi aku kuat. Aku bisa melakukannya, aku bisa menyelesaikannya tanpa muntah, pucat atau yang lainnya. Ya, aku bisa.
Betapa semangatnya aku, berlatih pagi-sore pagi-sore mulai goyah ketika semua mulai kembali berubah. Dia kembali meminta ku membantu mengerjakan itu lagi. Mulai memarahiku untuk hal itu lagi, dan aku mulai sering tidak ikut latihan karena itu lagi. Aku mulai kecewa, aku mulai berpikir negative. Tubuhku mulai tidak stabil lagi, ketika aku memaksimalkan tubuhku ketika latihan namun aku sendiri tidak mengontrol jam istirahatku. Aku mulai goyah, bahkan 5 putaran pun aku muntah, aku tidak kuat lagi. Kakiku sakit namun tidak ada yang peduli, aku minta di massage pun yang ada hanya disalahkan tanpa ditreatment apa-apa. Yasudahlah aku tidak apa-apa, aku terima.

Sampai H-3 pertandinganku, aku masih berjibaku dengan itu. Dia bilang aku jangan berangkat dulu karena dia ingin memperbaiki gerakanku, staminaku teknikku. Aku senang ketika dia mengatakan hal itu tapi semua itu hanyalah kebohongan belaka. Dia tidak pernah datang, dia tidak pernah melatihku, dia tidak pernah membahas tentang latihankkku. Dia pembohong besar, pembual.

H-2 aku malah jatuh sakit, seandainya ada yang tau, aku sangat kecewa dengan tubuhku sendiri. Aku harus jatuh sakit didekat garis finish. Mungkin salahku, tapi mungkin juga salah dia. Dia yang masih memintaku mengurus itu lagi, menunggunya dari jam 8, namun akhirnya datang jam 11 malam, membuatku baru tertidur jam 00.30 malam. Esok pagi, latihan pagi aku mulai merasa ada yang tidak beres, namun tidak aku rasa karena aku yakin aku akan baik-baik saja. Ternyata tidak. Aku semakin memburuk. Aku lemas, panas, dan tidak berdaya.

Aku tidak ingin menyerah, aku tetap ingin bertanding. Aku tetap pergi ke solo, dengan segala kekesalan, omelan banyak orang termasuk dia yang ikut memarahiku. Dalam hati aku sangat sakit, namun aku tidak ingin berhenti. Hari Selasa, 22 Maret 2016 aku sudah sampai di Solo, GOR UNS. Aku baik, aku sehat, aku bisa. Begitu caraku menguatkan diriku sendiri karena besok aku bertanding untuk penyisihan.

Hari selasa mencapai pada malam hari, aku beristirahat untuk pertandinganku esok. Aku ingin bersiap. Pagi datang, kami berlatih ringan, aku mempersiapkan diriku, tubuhku, lalu kembali ke penginapan. Aku tidak ingin meminum obatku karena aku takut aku akan lemas, namun dia memarahiku lagi untuk meminum obat. Yasudah aku manut, dan ya, setelah itu aku lemas, berkeringat, mereka meninggalkanku di mes bersama marta untuk beristirahat. Ketika kami akan tampil kami akan dijemput. Aku tertidur namun tidak nyenyak karena aku selalu menerka-nerka jam berapa aku akan dijemput. Jam 11 siang mas dayat menelpon ku, menanyakan keadaanku. Aku bilang aku baik. Tak lama mas dayat dan mas kurni datang ke penginapan, duduk di sampingku. Wajahnya serius.
“An, keadaanmu gimana?” Tanya mas kurni
Aku mulai merasa tidak nyaman dengan ini, nada bicaranya, tatapannya, raut wajahnya tidak seperti biasanya. “Aku baik” jawabku singkat
“An, kalau misal kamu ndak kuat, kamu ga jadi ikut tanding nda apa-apa. Biar nanti aku bilang sama panitianya kamu gak bisa tanding karena sakit? Kamu kayaknya pucat gitu, itu juga untuk kesehatanmu”
Rasanya aku ingin menangis sekencang-kencanganya, hatiku hancur, tubuhku lemas mendengar pertanyaan itu. Aku ingin membanting HP yang ada di tanganku. Apa kalian tidak tau betapa aku menguatkan diriku sendiri, betapa keras aku mengalahkan rasa sakitku sendiri. Dan dengan mudahnya kalian mengatakan hal itu. ITU SANGAT JAHAT!!! DIA!!! Pasti dia yang menyuruh mas kurni dan mas dayat mengatakan hal ini padaku. DIA!! DIA ORANG JAHAT!!!
“Aku sudah disini! Untuk apa aku disini kalau tidak main?!” jawabku bergetar berusaha menahan tangis
“Bener main?” mas kurni meyakinkan
“Iya” jawabku dilantang-lantangkan
“Ya, tunggu disini. Nanti dijemput”
Mas kurni dan mas dayat pergi, mereka memintaku bersiap-siap nanti akan segera dijemput karena jadwal untuk seni tunggal main mulai jam 1 siang.
Aku dan marta bersiap-siap. Aku mulai khawatir karena sudah jam 12.15 tidak ada yang menjemputku dan marta. Aku lemas karena obat dan belum makan, aku khawatir aku tidak punya tenaga nantinya. Aku mulai deg-deg an. Hingga jam 12.30 mas rio datang menjemputku. Sesampainya di gor, aku ingin langsung bertemu kontingen untuk meminta mereka membantuku mempersiapkan diri. Tapi tidak bisa, karena mas rio menyuruhku dan marta untuk bertemu dengan Dia. Aku hanya bisa manut, dibawah pohon, di warung lesehan itu kami hanya duduk-duduk saja. Aku semakin tidak karuan, antara panic dan muak melihat wajahnya. Disaat seperti itu dia masih saja memarahiku untuk hal-hal teknis. Aku meminta teman-temanku untuk datang membantuku bersiap-siap. Mereka juga panic, mereka juga gugup karena sudah hampir jam 1 dan aku belum apa-apa. Semua dilakukan dengan tergesa-gesa, pertama aku dandan dengan tergesa-gesa, belum selesai disuruh makan, makan pun baru 3 suap sudah dimarahi tidak boleh makan lagi,. Ya Tuhan aku masih lemas!! Baru selesai minum sudah harus pemanasan lagi. AAAAAAAAAAAAAAAAhhhhhhhhhhhhh semuanya benar-benar terburu-buru. Hal yang paling membuatku muak adalah ketika aku sedang didandani, aku dengar sayup-sayup dia bilang tidak akan nonton pertandingan seni. Dalam hati, aku berteriak, PERGILAH!! PERGI YANG JAUHHH. AKU TIDAK INGIN MELIHAT WAJAHMU!! AKU MUAK DENGAN WAJAHMU
Semua siap, aku menyiapkan diri, aku berusaha tidak lapar. Aku menanti dengan gugup. Berjam-jam aku duduk saja menanti giliranku. Dan pada akhirnya aku baru tampil jam 7 malam. Ternyata aku lemas, aku tak punya tenaga. Singkat kata aku kalah. Setelah tampil aku tidak punya daya, kakiku lemas tak kuat berdiri tapi aku tidak menangis. Aku sadar diri, aku lemah, gerakan ku tidak bagus, aku menerima.

Butuh waktu beberapa menit memang untuk mengembalikan tenagaku kembali, tapi aku baik, aku plong. Hal yang tidak membuatku baik adalah Dia.
Dia meminta aku, marta dan mas kurni untuk kembali ke penginapan. Di dalam mobil dia menceramahiku tentang kondusif dan tidak, tentang prepare dan sebagainya. AKU BENCI DIA! Sesampainya di penginapan dia masih membentakku, dia memarahi mas kurni untuk segala kesiapan pertandingan. Dia dengan segala powernya selalu memarahiku, menyalahkanku dan mas kurni. Yasudahlah diterima saja.

Pagi hari, jadwal bertanding untuk ganda putra, ganda putrid, dan beregu. Kami mempersiapkan semuanya dengan sebaik mungkin. Mas dayat dan mas kurni memintaku menjadi official sementara mereka menjadi timer. Baiklah. Aku siap.

Aku menemani ganda putra, bersiap di tempatnya, mereka begitu gugup, mas kurni, mas dayat, aku dan ganda putra berdoa bersama. Khusyuk kami memohon penampilan yang maksimal. Ganda putra terlihat begitu gugup, aku mencoba menguatkan mereka, aku membuat mereka tidak gugup, setidaknya dengan tersenyum supaya tidak begitu beban. Mereka bertanding. Sorak sorai pendukung diseberang sana, sayup sayup aku melihat bayang-bayang dia. Dia yang diantara para penonton lainnya.

Wow. Itu yang dikatakannya tidak akan menonton saat seni main. Ucapannya itu yang tidak bisa dipercaya. Hatiku sakit. Seketika aku tau dia hanya malu tentang aku. Aku yang main tunggal. Dari awal dia memng tidak pernah serius melatihku.
Ganda putra lebih 6 detik dari waktu yang seharusnya, itu membuat nilai mereka minus sangat banyak. Kecewa memang, karena hal itu mereka harus puas hanya dengan juara 2. Aku menunggu giliran untuk ganda putri main. Singkat cerita aku meyakinkan mereka bahwa mereka bisa, wanita lebih riweh dari laki-laki, mereka lebih gugup. Sama seperti ganda putra, aku membuat suasana lebih cair dengan membuat mereka tersenyum, tidak tegang. Dan akhirnya saatnya mereka main. Mereka menang, mereka bermain bagus.

Kami kembali ke rombongan, dan semakin jelas kulihat dia berdiri menonton ganda main. Mereka mencium tangannya sementara aku terhenti, masih muak dengannya karena dia berada disini. Belum sempat apa-apa, tangannya menampar pipi kiri ku. Aku sangat terkejut, rasanya tidak sakit di pipi, tappi hatiku terasa sangat sesak. Rasanya sakit sekali. Apalagi ini? Salah apa lagi aku?
Dia memarahiku karena aku membuuat atlitnya tertawa saat akan bertanding, dia bialang aku seharusnya membuat atlitnya tenang, bukan tertawa-tawa. Dan bla blaa blaaaaa…….. dan pada akhirnya dia mengatakan kalau seharusnya ganda putra bisa menjadi juara 1. Dia! Ternyata dia menyalahkanku untuk kekalahan ganda putra. Kau tau betapa sakitnya aku, betapa terlukanya hatiku. Tamparan itu, kata kata itu, wajah itu menyiksaku. Bahkan kau selalu mempermalukanku di depan semuanya, seakan aku iini orang paling bodoh diantara semuanya. Aku tidak pernah kau hargai.


Dia, karena dia aku membenci diriku sendiri. Dia yang terus memarahiku untuk semua hal yang aku lakukan. Dia yang malu tentang aku. Dia yang terus memanfaatkan aku. Terima kasih untuk dia. Terima kasih karena terus membohongiku. Sekarang aku membenci dirimu! Kini, Aku sangat takut jatuh cinta lagi. Aku membenci laki-laki (lagi). 

Rabu, 10 Desember 2014

I Have Chosen



Setiap momen jatuh cinta kita dihadapkan pada pilihan. Mengatakan cinta itu dengan segera, atau menikmati pelan-pelan apa yang terasa. Mengambil risiko diterima atau ditolak saat menyatakan perasaan. Atau menjalani rasa rindu yang kadang membuat tak karuan. Memendam perasaan yang ada di pikiran. Dua-duanya adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Namun, saat jatuh cinta tidak ada pilihan lain. Hanya itu. Mau tidak mau harus menjalani salah satunya. Menyatakan atau memendam
Saat memutuskan memendam perasaan. Dengan sadar diri ini sudah memutuskan menerima risiko dari semua itu. Kalau tidak nyesek, ya, nyesek banget. Namun terlepas dari perasaan itu. Setiap perasaan sesungguhnya bisa dinikmati. Perasaan apa saja. Apakah itu patah hati, jatuh cinta, jatuh cinta diam-diam, juga saat kau memilih memendam perasaan. Kau selalu bisa menikmatinya. Meski terkadang lebih banyak perasaan bimbangnya.
Perasaan yang tumbuh di dada manusia adalah anugerah. Hal yang sama sekali tidak bisa dibuat-buat. Tidak perlu menyesali apa pun yang terjadi. Jika pun memilih memendam perasaan.  Namun hal yang harus diingat adalah perasaan yang dipendam seringkali meminta untuk dikeluarkan. Dan diri ini harus paham bahwa tidak seharusnya menyalahkan perasaan yang ada di dada, ketika ia berontak untk keluar. Yang perlu dilakukan yakni menenangkannya berkali-kali. Buat ia kembali damai, menikmati segala kemisterian rasa.
Memendam perasaan sama saja seperti mengajak diri ini berperang. Sayangnya tidak akan ada yang menang dan kalah di antara keduanya. Jika perasaan yang di pendam bisa kau redam maka semua akan baik-baik saja dan tentu saja diri ini akan tetap sendiri. Jika perasaan yang terpendam mengalahkan, semua akan menjadi tidak karuan. Merasa tidak seimbang. Dan yang lebih parah lagi, diri ini akan benar-benar bangun dan tersadar : diri ini masih sendiri. Memendam perasaan bukanlah kesalahan namun memendam perasaan seringkali menimbulkan penyesalan.
Sesal, cemburu, sakit, dan marah adalah sedikit deskripsi rasa yang akan terkecap ketika diri ini memendam perasaan. Bukan hal yang mudah ketika semua rasa berkecamuk. Rasanya kau ingin menyerah saja namun masih tak mampu melepaskan. Dan serasa telah remuk, ketika ia berubah lekuk terhadapmu dan beralih tersenyum pada yang lain. Serak teriak hanya bisa kau telan kembali, dibanding berkata “Hey, aku masih disini. Lihat aku.” Namun hanya helaan nafas panjang yang akhirnya menang.

Dia, pernah menjadi bagian puncak dalam asmaraku. Ketika aku sudah jatuh hati dengannya, dan ditambah segala perhatian yang dia berikan, aku selalu berdebar. Sayangnya, aku adalah wanita yang menunggu, yang tak mungkin bisa berucap bahwa aku menyukainya. Konvensional memang pemikiranku tentang cinta. Aku mengikuti alur tradisi kepercayaaan bahwa yang menyatakan haruslah sang pujangga. Dan inilah ujungnya, aku masih disini, sendiri.
Bukan masalah ketika aku harus menunggu saja, atau sekedar menikmati saja segala perhatianmu meski semuanya ambigu. Karena begini pun aku bahagia. Namun waktu tak pernah berhenti perubahan tak bisa dielakkan. Dan tak sanggup aku terima ketika dirimu berubah dan perhatian itu kini telah terkikis. Entah karena apa, semua masih abstrak. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba semua berubah. Kau kini tak lagi melihatku, bahkan kau menekuk wajah ketika berbicara denganku. Kau tau aku sakit saat melihat matamu, aku seperti ditusuk. Aku menyesal dengan apa yang entah telah kuperbuat hingga kau berbalik tak memperdulikanku. Kebungkaman tercipta jelas diantara kita.
Kini dia, wanita itu yang kau jaga. Dihadapanku kau tersenyum kearahnya. Kau bahagia ketika dia ada, kau selalu berada di sampingnya, kau menjawab semua tawanya. Dan semua itu dihadapanku. Pengalihan atau pergi, pilihan penyelesaianku ketika tak tahan meredam perasaanku terhadapmu. Wanita itu tak sendiri, dia telah memiliki penjaganya, dan kini kau pun ikut menjaganya dalam pendam rasamu juga. Betapa beruntungnya dia, wanita itu. Wanita itu yang lembutnya telah memikat dirimu, yang mungunci senyummu untukknya. Aku sungguh cemburu, karena hingga saat ini jantungku masih berdegup kencang ketika jarak kita dekat. Degup itu tak lagi merekahkan aku, namun kini berbalik berduri dalam diriku sendiri.
Kau memendam rasa untukknya dan aku memendam rasa untukku. Hal yang menggelikan ketika kita hanya berputar-putar disini, tanpa ujung. Jatuh cinta tak pernah serumit mengatakannya. Setidaknya aku telah menuliskan rasaku, dan entah siapa yang tahu, yang jelas bukan dirimu.
Aku telah memilih dan masih memilih mencintaimu dalam diam.


Rabu, 03 Desember 2014

Laki-Lakiku



Dia, seseorang yang tak akan pernah bisa hilang dalam ingatanku. Dia, orang yang bermakna dalam hidupku. Dia, bukan keluargaku namun bagian dari diriku. Aku menyayanginya seperti dia apa adanya terhadapku.
Aku bersyukur ketika aku digariskan untuk bertemu dengannya. Karena melalui dialah aku mengenal ‘orang, yang terasa begitu asing bagiku. Laki-laki, makhluk Tuhan yang satu ini tak pernah bisa aku mengerti. Aku hanya mengenal mereka dengam melihat, tak pernah bisa sanggup untuk menyentuh, apalagi merasakan. Mereka seperti sosok yang asing, bahkan Ayahku sendiri, aku dan Ia seperti dipisahkan sikap ke-aku-an yang begitu tinggi. Lucu memang, karena sebenarnya aku dan ia adalah anak dan ayah, sifatku mirip dengannya, kami berdua sama sama keras kepala. Itulah yang membuatku sering tak sepaham, dan justru rasa benci yang timbul. Seringkali aku merendahkan laki-laki karena Ayahku, mengganggap mereka semua sama-sama brengsek, hilang rasaku terhadap mereka. Aku dan laki-laki tak pernah bertemu.

Dia yang mengubah pemikiranku tentang kaum Adam. Dia yang mengenalkan aku tentang mereka. Berada diantara mereka, menjadi satu dengan tingkah mereka. Mereka adalah mereka dengan segala karakteristiknya yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan wanita, namun yang menjadi perbedaan yang mencolok antara mereka dan wanita yakni jiwa pemimpin. Aku belajar bahwa tiap laki-laki harus mampu mengambil alih dan memimpin, karena wanitanya berlindung padanya. Mungkin masih ada laki-laki yang terlihat belum bisa memimpin, aku tak tahu kenapa, mungkin karena sifatnya yang terlalu mengalah, dia terlalu pendiam atau dia masih belum menemukan solusi sehingga tak mampu menempatkan posisi di tempat pemimpin, namun suatu saat ia pasti dan harus menjadi pemimpin, tegas namun tak menyakiti. Bagiku, hal terpenting dari seorang laki-laki adalah ketika ia berbicara ia didengarkan, artinya ia telah memiliki wibawa. Mereka, kalian, kaum Adam, adalah makhluk yang jelas kuat dan hebat pada porsinya.
Dia, laki-laki yang mengubahku, yang membuka kembali sisi mataku yang gelap dan pekat tentang mereka. Aku merasa terlindungi diantara mereka, terutama dia. Dia yang mencoba menjagaku dengan caranya. Tidak dengan cara memanjakanku, tidak dengan kata-kata yang lembut, tidak dengan sikap yang protecting, namun dengan sikap yang tegas, menasihatiku dengan sindiran yang justru membuat semua yang mendengarkan tertawa, disampaikan dengan tidak serius namun sebenarnya penuh makna ketika mampu manangkapnya, ia ingin menjadikanku berpikir sendiri tentang apa yang baik bagiku. Ia menjadikanku kuat tidak dengan hal-hal yang kasar, namun lebih kuat dalam bersikap.
Aku bukan lagi aku yang dulu, aku yang manja, aku yang takut dengan keramaian, aku yang takut tersakiti, aku yang terkekang oleh rasa takutku sendiri, kini aku menjadi diriku yang berusaha mencapai segalanya, aku hanya merasa bebas mencoba segala hal yang dulu selalu ingin ku coba. Hal-hal baru selalu kutemui ketika bersamanya, dan iya, Aku Bahagia.

Dia tak pernah berkata-kata secara jelas bahwa dia menjagaku. Aku harus menafsirkan sendiri setiap perkataanya. Ia bisa secara tegas membentakku, namun tak pernah ada rasa marah apalgi dendam, justru membuatku berpikir kembali apa yang salah. Dia ingin menjagaku, ia ingin mengawasiku, ia tak ingin aku jauh dari pandangannya karena itu ia tak pernah membiarkan aku berhubungan dengan orang yang tidak dikenalnya dengan baik. Ia tak mengatakannya secara langsung, namun hanya dengan menjadikan semuanya dengan lelucon. Namun aku mengerti setiap leluconnya, ketika tidak boleh, maka jangan lakukan.
Dia, kakakku yang kutemui disini. Dia kakak laki-lakiku yang aku idamkan, pelindungku yang mangajariku kuat, yang menyayangiku sepenuh hati, yang menjagaku ketika aku jauh dari keluargaku yang sebenarnya yang jauh disana. Dialah kakakku yang memegang tanganku erat, yang melindungiku, yang mngajarkanku mana laki-laki baik dan tidak, yang mengajakku melihat keluar dari yang biasa. Dia bukan laki-laki sempurna, ia juga memiliki sisi negatif yang tak pernah ia tutup-tutupi. Ia perlihatkan dan mengaharapkan aku tuk menjaga diri dari apa yang negatif karena ia tunjukkan akibatnya. Dan ya, aku sangat menyayanginya, kakakku.
Karena dia aku menemukan keluarga baru, dan karena dia, aku menemukan banyak laki-laki baik dalam hidupku. Keluarga yang terbentuk oleh kebersamaan, sakit, tawa, marah, dan sedih membuat kami saling merindukan ketika tak bersama. Rela meninggalkan segalanya demi menjaga satu dengan yang lainnya. Dan aku seperti dikelilingi oleh banyak pelindung yang banyak, yang seakan berkata, berjalanlah, aku melindungi dan menuntunmu di depan, berjalanlah dan jangan takut aku selalu dibelakangmu.
Inilah keluargaku. Laki-lakiku.
Keluarga PSHT Komisariat UNNES 

Selasa, 26 Agustus 2014

Sudah Rindu Bahkan Sebelum Kamu Pergi


     Sejak kapan, aku sudah tidak ingat lagi. Diawali dari apa aku pun sudah lupa. Yang jelas saat ini aku dekat denganmu. Bahkan bisa dibilang sangat dekat, aku tak mau jauh darimu. Rasa ini muncul dengan tiba-tiba bahkan tanpa aku sadari. 
     Kamu yang selalu memperhatikan aku, kamu yang selalu menatapku, kamu yang selalu menyemangatiku. kamu yang selalu menjadi pelopor untuk yang lain. Kamu yang selalu memilihku untuk bersamamu. Kamu tak pernah memerintah, tapi aku akan selalu mengerti dan mengikutimu. Semua yang kamu lakukan membuatku bingung, menyulitkanku membaca situasi. Apakah ini benar rasa cinta atau hanya sekedar candaan seperti yang lainnya saja. 


     Aku ternyata suka kamu, entah kamu merasakan hal yang sama atau tidak. Tapi aku ingin terus berada disampingmu selama kamu masih bersedia. Biarkan aku menikmati ini lebih lama. Jangan bersama yang lain ketika aku disampingmu. Tetap pegang aku seperti biasanya. Aku sangat bahagia berlari bersamamu.
     Kamu harus pergi hanya untuk lima hari, dan aku sudah merindukanmu bahkan sebelum kamu pergi. Aku membayangkan aku sendirian tanpamu, aku kesepian, tak akan ada yang berlari disampingku. Aku akan merindukan senyummu ketika aku datang. Hanya kamu yang mengganggapku ada, karena yang lain tak memperdulikan keberadaanku. Apa jadinya aku tanpa semangatmu.

     Besok kamu akan berangkat, aku tak ingin melewatkan hari ini tanpa tertawa denganmu. Tak peduli betapa lelahnya aku, aku akan terus berlari jika hanya itu yang bisa aku lakukan untuk berada disampingmu. Tidak peduli betapa lelahnya aku, aku terus terjaga di sampingmu tertidur. Tak ingin kulewatkan hari ini untuk bersamamu. Karena aku sudah merindukanmu bahkan sebelum kau pergi. Jangan pergi terlalu lama, kembalilah tersenyum padaku. Cause I love You

Selasa, 15 April 2014

Cinta Tanpa Degup Jantung

That was my first kiss.
      Malam itu hujan derasnya, aku kedinginan, baju dan celana yang membalut tubuhku basah oleh hujan. Kami berhenti beberapa kali untuk berteduh dari pedihnya rintik hujan yang menerpa. Sebasah-basahnya aku, lebih basah dirinya, meski sudah memakai jaket, air tetap mampu menembus dadanya. Ia mengantarku pulang ke kos, aku tak tega melihat dia kembali ke kosnya dalam keadaan hujan masih sangat deras. Kuajak dia berteduh dulu di teras kos, menunggu hujan reda. Ditemani dengan kue sempat kubeli, kami nikmati bandung yang tadi sempat terbeli, ditemani segelas teh panas, berusahi mengurangi hawa dingin yang menerpa.
       Sesungguhnya, hari itu adalah hari tersial dalam hidupku, karena malam itu, dia dan aku ditilang oleh polisi untuk kesalahan yang absurd. Lugunya, atau bisa dibilang bodohnya, kami mau saja ditipu oleh polisi yang sedang nipu. Uang senilai 250ribu melayang masuk ke dompet polisi keparat itu. Dia begitu marah tapi tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak peduli lagi karena percuma saja memaki, uang itu juga tak akan kembali. 
      Kesialan selanjutnya, malam itu pula aku kehilangan ponsel baruku yang baru saja kubeli seminggu yang lalu. Hanya bisa menghela nafas ketika menyadari ponselku sudah tidak ada lagi di kantongku. Sial. Cuma itu yang aku pikirkan. Aku tidak menangis sama sekali, sungguh. Lagi-lagi, percuma menangis, ponselku tak akan kembali lagi. Sementara dia begitu merasa bersalah atas kesialan yang terjadi malam itu. Ia mencoba menghubungi nomorku, namun hasilnya nihil, tentu saja. Nomorku tak bisa dihubungi, ponsel itu pasti mati karena terjatuh, ditambah lagi terguyur air hujan, alat elektronik itu pasti nge-hang. Pikirku sederhana, ponsel itu pasti terjatuh saat dalam perjalanan pulang, terjatuh dari kantong celanaku, karena jalan yang tidak rata ditambah ia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Aku sama sekali tidak sadar jika ponselku terjatuh karena aku sibuk berpegangan padanya, berlindung di balik punggungnya dari hujan, sibuk menstabilkan diriku yang terguncang karena jalan yang tak rata. Aahh sudahlah, relakan saja. 
      Entah apa yang dipikirkannya, ia lebih banyak diam, mengeluhkan kesialan hari ini lewat diam. Sementara aku sibuk memakan kue bandung yang tetap nikmat meski tak lagi panas. Sesekali aku menatapnya, mencoba menerawang benaknya, kupikirkan apa yang bisa kulakukan untukknya agar tak lagi merasa terbebani. Seketika pikiran nakalku hadir, dan ya aku ingin melakukannya. 
      Aku mencium pipinya tiba-tiba tanpa ia pernah sadari. Ia terlihat begitu terkejut dan salah tingkah, bingung harus bagaimana Dan seketika pula aku malu, menyesali kelakuan nakalku ini. Aku langsung menyuruhnya pulang, kebetulan hujan juga sudah reda. Setidaknya aku tidak harus berkata apa-apa untuk beralasan. Dia pergi dengan sumringah, dan aku lihat itu. 
       Pertama kalinya dalam hidupku aku mencium seorang lelaki. Namun ada yang aneh kurasakan. Kupikir jantung ini akan terpicu berdegub kencang tak beraturan, kupikir aku akan salah tingkah semalaman, kupikir aku akan sangat bahagia, tapi nyatanya tidak. Aku biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Perasaanku datar, flat, lurus, tak bergejolak. Ini membuatku merasa begitu aneh, saat itu pula aku mulai ragu, kenapa aku seperti ini? apa aku sungguh menyayanginya? atau aku hanya membutuhkannya? Apakah rasa ini benar ada? atau hanya aku yang mengada-ada? Cause that was my first kiss, why does it feel flat? Benarkah cinta ini ada? Karena sepertinya hanya dia yang terlihat begitu bahagia.

Sabtu, 01 Maret 2014

Hangatnya Genggamanmu

"Karena Aku sayang Kamu," terdengar pelan karena kalah oleh suara malam dan jalan, namun cukup jelas.
       Dia tak menatap mataku, dia justru membelakangiku karena aku dalam boncengan motornya. Namun, dia pegang erat jemari tanganku di dalam saku jaketnya. Aku memang sengaja memasukkan jemari tangan kiriku ke dalam saku jaketnya berusaha mencari kehangatan meski malam tak begitu dingin. Aku sama sekali tidak menyangka, ia akan memasukkan jemari tangannya ke dalam saku jaket dan menghandle motor hanya dengan satu tangan kanannya. Dia menggenggam telapak tanganku, memberikan kehangatan yang lebih. Di dalam saku jaketnya, kami berpegangan tangan. Sepanjang perjalanan pulang, selama jalan raya itu masih bisa ditaklukkan dengan satu tangan, ia terus menggenggamku. Selama itu pula aku merasa begitu senang, begitu disayangi, begitu dilindungi. Dia mulai mampu membuatku berdegup tak beraturan. Tak ingin pula kulepaskan genggaman tangannya. 
       Aku tak begitu ingat apa yang kami bicarakan selama berada di atas motornya, hingga sampai akhirnya ia mengatakan hal itu. Sebagai wanita aku tak bisa bohong kalau kalimat itu sungguh menyanjungku. Ia memintaku untuk memberitahunya ketika aku butuh bantuan, karena memang, selama ini, yang bisa kulakukan sendiri akan ku lakukan sendiri, aku tak ingin merepotkan orang lain, sesulit apapun itu. Dia sepertinya ingin sekali direpotkan olehku. Dia ingin menunjukkan sayangnya padaku, termasuk dengan membuaiku kalimat manis seperti ini dan terus menggenggam tanganku erat. 
      Jujur, aku senang. Hanya itu yang bisa aku ungkapkan. Aku sudah sangat tahu kalau dia sangat sayang aku, dia tidak akan meninggalkan aku, yang pasti tak akan berani menyakitiku. Rasa sayangnya menumbuhkan rasa sayangku terhadapnya pula. Kini aku mulai acuh dengan pikiran-pikiran tentang hubunganku dengannya yang tak lazim, anggapan-anggapan orang lain yang menekan batinku. Aku mulai tak peduli. Seandainya kau tau, semalaman aku tak bisa tertidur pulas karena selalu teringat kalimatmu, dan teringat betapa erat kau memegang tanganku. Aku merasa masih terus merasakannya. Aku juga sayang kamu. Itu juga yang ingin kusampaikan namun terlalu gengsi untuk terucap. 
       


Senin, 03 Februari 2014

Aku Harap ini Benar Cinta

      Aku tidak pernah menyangka akan merasakan ini. Aku tidak mengira akan seperti ini. Jujur ini jauh dari bayanganku tetapi aku berterima kasih karena masih diberi kesempatan untuk dicintai. Ini pertama kalinya aku benar-benar dicintai, benar-benar di sayangi, benar-benar diberikan apa yang aku mau, pertama kali segala perhatiannya hanya untukku. Rasanya menyenangkan, rasanya seperti menjadi seseorang yang istimewa, mungkin ini yang disebut kasmaran.
      Dia. Dia yang datang padaku, dengan senyum menawarkan semua yang aku butuhkan. Aku menerima semua kebaikan yang dia berikan. Sungguh aku sama sekali tidak sadar kalau ada rasa dibalik semua perhatiannya. Kupikir dia memang baik, karena memang dia baik pada semua orang, ternyata tidak untukku. Aku tidak tahu sejak kapan dia menyukaiku, semua hanya bermula dari sebuah ejekan dari sesama siswa polos ketika aku duduk mengobrol berdua dengannya.
      Sore itu, sehabis berenang bersama pelatih dan siswa lainnya, kami berpencar mencari tempat berteduh agar tubuh ini tak lagi basah, ya, hujan menahan kami tetap di sini. Begitu pula denganku, aku pun tak ingin dingin semakin menyergap tubuhku yang sudah menggigil. Hanya disampingnya, ada tempatku untuk berteduh. Aku duduk disampingnya, memandangi ke semua penjuru tanpa fokus. Dibanding harus diam, kalah oleh derasnya rintik hujan, lebih baik aku mengobrol dengannya, pikirku sederhana. Aku mulai mengajaknya bicara, mengobrol tentang banyak hal, tentang rumah, tentang kuliah, tentang kalimantan tentunya, karena kami berasal dari pulau yang sama. kami terlalu asyik berbincang hingga tak sadar jika yang lain begitu memperhatikan kami. Dari sinilah ejekan anak kecil mulai muncul.. ecieee... 
      Hanya senyum, respon termudahku, karena bagiku aku dan dia tidak ada apa-apa. Dia kuanggap seperti adikku saja karena dia memang masih anak smester satu sedangkan aku satu tingkat diatasnya, semester tiga. Ditambah lagi saat itu, aku sedang tergila-gila dengan orang lain, salah satu pelatihku. Sama sekali tak ada perasaan apa-apa tentangnya. Sungguh. Namun aku tak tau dengannya...
    Sejak saat itu, kami semakin akrab karena ia selalu mengajakku mengikuti berbagai kegiatan PSHT. Aku senang mengikuti kegiatan itu pun, karena semua kegiatan itu direncanakan oleh pelatihku yang aku sukai, oleh karena itu, aku rela menyibukkan diri. Lama-kelamaan, ia semakin baik padaku, ia menjemputku, meminjamkan aku gambarannya, ia mengajariku materi yang tak mampu ku handle saat latihan, ia rela berhujan-hujanan karenaku. Terlebih sikapnya, perkataannya, dan tatapannya semakin menunjukkan dia menyukaiku terlebih lagi dihadapan para pelatih, membuatku yakin dia menyukaiku. Aku tidak tahu harus bersikap apa, aku sama sekali tidak merasakan deg-deg kan di dekatnya. Dan ia terlalu muda untukku. Namun, aku sudah terlanjur meminta banyak kebaikan darinya, rasanya tidak adil jika aku menyakitinya. Selama ini ajakannya untuk makan berdua saja selalu ku tolak dengan berbagai alasan, karena aku takut. Aku takut untuk hal yang tak bisa aku jelaskan.
       Rasa suka pada pelatihku tak hilang meski ia pun ikut mengejekku dengan yang lain. Bagiku, tak apa yang penting aku masih bisa akrab dengannya. Seiring waktu, aku tak bisa mengabaikan ajakan dia untuk pergi bersama, hanya berdua saja. Ketika libur semester datang, semua merencanakan kepulangan ke kampung masing-masing. Begitupun dengannya, namun tidak denganku. Di hari terakhir dia berada di dekatku akhirnya ia mengajakku. Aku rasa aku akan sangat jahat ketika menolak, sehingga jadilah kami menghabiskan waktu berdua saja diatas motor berkeliling semarang. Ini menyenangkan karena sebelumnya memang belum ada yang mengajakku seperti ini. Aku menikmatinya, aku ingin memeluk pinggangnya namun masih sungkan. Aku semakin tak bisa menghindari segala kebaikannya, aku tak mungkin menghancurkan perasaannya. Dan yang aku tau, dia masih polos, dia sangat baik pada semua orang, dan dia juga muslim yang baik.
      Harii itu, aku benar-benar mencoba melihat sisi lain darinya, mungkin akan ada hal darinya yang membuat jantungku berdegub kencang bila dekatnya. Kami makan bersama, dia tahu apa yang aku sukai, dan tau apa yang benar benar ingin aku lakukan saat ini. Dia pinjamkan aku gitarnya. Dia tahu aku ingin sekali bermain gitar, dan liburan semeter ini gitar itu menginap di kamarku. Aku sungguh senang, karena bisa berain gitar adalah harapanku di tahun 2013,namun baru kali awal tahun ini, aku bisa mencoba mewujudkannya. Namun sayang, ini tetap belum bisa membuat jantungku berdegup kencang, bahkan ketika dia bilang, gitar ini untukku saja. Aku sungguh merasa bersalah dengan perasaan ini.
    Aku mencoba dengan sangat untuk menyukainya, aku tidak boleh menyakitinya. Kami mulai sering berhubungan, entah lewat sms maupun chat di facebook. Kadang aku merasa bosan dengan perbincangan kami, karena dia terlalu formal, dia terlalu takut untuk berkata-kata, dia sangat takut aku tersinggung atau marah, dan tentu menyebabkan dia jadi sering minta maaf. Dia tak seperti cowok lain yang bisa ku ajak bercanda, kreatif untuk membuat olokan baru, yang bisa saling menggombal alay satu sala lain. Dia tidak bisa, dia kaku dan tentu aku bingung bagaimana mencairkan suasana, karena ini menjenuhkan.
Sampai, suatu ketika aku benar-benar terenyuh dengan kalimatnya. Aku sama sekali dia berani mengatakan itu, dan itu yang membuatku kembali berpikir untuk tidak menyakitinya.

“I wanna say something”
“I’m listening”
“I miss you”

Aku sempat terdiam seketika setelah membaca kalimat itu, dia berani mengatakannya. Dan aku semakin tahu kalau dia benar-benar menyukaiku. Dan aku semakin merasa bersalah jika hanya memberikannya harapan palsu. Aku menjawabnya dengan niat bercanda, dan lagi-lagi dia membuatku diam.

“wow, is it really really really from ur deep deep heart??”
“yeaahh, it is really really really from my deep heart for you”
“hahaha.. I’m worry, you’re going to suicide when I leave you :p”
“hahahaha do you want to do that?”

Belum sempat aku membalas, dia sudah mengirimkan sebuah pesan baru lagi.

“I don’t want you to leave me”

      Aku hanya bisa menghela nafas panjang, hanya sebuah kalimat sederhana namun bermakna sangat dalam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Dia sungguh menyukaiku, dia sungguh takut kehilanganku, dia sungguh menjaga perasaanku, lalu apalagi yang aku takutkan. Batin dan egoku saling beradu, Hatiku sudah mulai menerimanya, karena dia satu-satunya orang yang tulus mengorbankan semuanya untukku. Namun disisi lain, aku sangat terpengaruh dengan cibiran orang. Dia masih terlalu muda, dia masih anak kemarin sore, dan dia lebih seperti adikku. Ya Tuhan, semoga aku tidak menyakitinya, aku akan menyayanginya seperti caranya menyayangiku. Bantu aku menyingkirkan pandangan negatif orang lain kalau aku terlalu gegabah mau menjalin hubungan dengan laki-laki yang lebih muda tiga tahun dibawahku. Aamiin.


 Aku harap ini benar Cinta, bukan belas kasihan ataupun balas budi. Aku sayang kamu.