Rabu, 28 Agustus 2013

Stres itu kalau dikejar deadline. Pengen ikut lomba tapi batas akhir pengiriman tanggal 25 september sedangkan ini sudah tanggal 29 Agustus. Pengen belajar kimia organik 1 tapi tanggal 2 september udah masuk kuliah awal dengan mata kuliah kimia organik 2, aku pasti keteteran lagi di kimia organik 2. Haduh panik banget ini.
Manusia adalah para pemerhati. 
Setiap manusia akan memperhatikan manusia lainnya. Apalagi jika manusia itu berbeda darinya. Entah berbeda karena lebih baik atau karena lebih buruk. Manusia akan sangat memperhatikannya dan membicarakannya bersama manusia lain. Itulah manusia, jadi menurutku seorang manusia tidak perlu bersikaf naif dengan marah ketika kamu sedang diperhatikan dan dibicarakan karena kamu juga manusia yang akan memperhatikan dan membicarakan orang lain

Senin, 26 Agustus 2013

Mimpi itu Masih Terbungkus dalam Kata "Seandainya"

          Kalau aku bicara tentang mimpi atau keinginan maka akan menjurus pada sebuah presepsi bahwa aku tidak pernah bersyukur. Sedihnya, cita-citaku sulit sekali tercapai. Aku pernah bermimpi ingin menjadi dokter, rasanya tidak mungkin dengan kondisi keuangan dan otakku yang sekadarnya saja ini. Bermimpi menjadi pramugari, juga tak bisa tercapai karena tinggi badanku yang 'semampai' semeterpun tak sampai. Pernah membayangkan aku menjadi seorang pelukis atau arsitektur, ternyata aku hanya seorang peniru, aku tidak pernah bisa membuat gambarku sendiri, aku hanya bisa menirukan karya orang lain, ditambah lagi untuk menjadi arsitek harus kuat dalam fisika tapi aku justru diinjak-injak olehnya. Selain itu, aku juga pernah berkhayal suatu saat ada sebuah buku dengan namaku tercantum di dalamnya sebagai sang penulis. Namun hingga saat ini, sebuah cerpen pun tak rampung-rampung. Mungkin, dulu aku pernah mengucapkan bahwa cita-citaku adalah guru, dan inilah satu-satunya cita-citaku yang terwujud, kini aku telah berada dalam prosesnya. Seharusnya aku mensyukuri ini namun seringkali ada suara dalam otakku mengatakan "Bukan ini yang aku mau", lalu aada suara lain lagi berteriak "jadi apa yang kau inginkan?!" Berhenti. Tidak ada tangggapan lagi. Suara teriakan itu hanya berputar-putar pada dua kalimat itu karena suara satu, juga tak tau apa yang sesungguhnya yang ia mau. 
          Untuk keinginan-keinginan kecil yanga aku kehendaki, ada yang terwujud ada yang belum. Aku tak berani mengatakan tidak karena mungkin aku masih bisa mewujudkannya. Aku berterima kasih pada Allah atas segala karuniaNya dan atas segala hal yang telah Ia kabulkan. Aku makhluk berdosa karena tidak ingat apa saja permintaanku yang telah Ia kabulkan. Justru hal yang aku ingat hanyalah yang belum dikabulkanNya. Namun aku masih ingat betapa senangnya aku saat keinginanku dikabulkan. Saat SMA aku sangat menginginkan sebuah laptop seperti teman-temanku. Karena alat itu mempermudah dalam tugas-tugas sekolah. Aku sangat ingin tetapi uang tabunganku tidak cukup untuk membelinya. Butuh minimal 5 juta untuk bisa memilikinya, namun sampai aku lulus SMA pun aku belum memilikinya. Allah tahu kapan Ia harus mengabulkan doaku. Ketika aku masuk kuliah, ibuku akhirnya membelikanku laptop karena memang diwajibkan dalam proses perkuliahan. Aku tak bisa mengungkapkan kesenanganku dalam kata per kata. Yang jelas aku bersyukur. 
          Hal-hal kecil yang aku inginkan itu seperti, aku punya sebuah piala, aku bisa bermain gitar, aku bisa berdagang seperti anak kos lainnya, aku bisa membuat orang tertawa, aku bisa bekerja dan begaul dalam sebuah organisasi dan juga punya banyak kenalan, aku bisa jalan-jalan jauh tanpa mabuk, yang paling penting, aku bisa tersenyum manis. Itu sedikit adalah keinginan-keinginan kecilku. Mungkin bagi orang lain hal itu mudah dilakukan, tapi orang lain tidak tau kendala apa yang aku alami singga membuat hal-hal kecil itu menjadi sulit dilakukan. Selain keinginan-keinginan kecil itu aku punya keinginan besar.
         Aku punya mimpi  membuat sebuah rumah besar untuk keluargaku. Bukan, bukan rumah besar tapi rumah sederhana yang memang bisa disebut sebuah rumah ideal. Sehingga adikku tidak perlu lagi menahan sakit untuk menahan malu. Sebuah rumah untuk keluargaku, itu mimpi besarku. Untuk menggapai mimpiku itu aku butuh sekitar Rp. 500.000.000,00 untuk sebuah rumah kecil di tahun 2013. Harga itu akan selalu naik setiap tahunnya, Sedangkan aku baru lulus kuliah sekitar 3 tahun lagi. Ahh, darimana aku bisa dapat uang sebanyak itu. Entahlah.
           Satu hal yang baru aku sadari saat ini, aku tidak tau apa keinginan ibuku. Ia tak pernah mengatakan apa keinginannya. Yang aku tahu, ia hanya ingin aku menjadi 'orang' punya pekerjaan yang layak. Hanya itu. Selain itu aku tidak tahu lagi. Dan baru hari ini pula aku tahu apa yang benar-benar diinginkan bapakku. Ia ingin pergi hati. Ya Allah, kapan aku bisa mewujudkan semua mimpi itu. Semuanya masih terbungkus dalam kata 'Seandainya'.

Kamis, 22 Agustus 2013

Tragedi Kecelakaan 23/8

Uwaaa... Tragedi hari ini tanggal 23 Agustus 2013 jam 08.52 WIB Laptop Asus U32U series kesayanganku jatuh dari atas meja. Dan itu akibat kesalahanku. Awal cerita dimulai karena aku tergiur aroma makanan yang tercium dari dapur, aku yang masih menggeliat di pulau kasur bersama sang Laptop tiba-tiba merasakan lapar yang luar biasa. Saat itu laptop sedang dalam perjalanan menampilkan balasan retweetku. Laptop ku juga masih dalam posisi injeksi dengan charger. Kabelnya menjulur panjang di lantai dari bawah meja hingga ke atas kasurku
Aku yang diserang lapar buru-buru memindahkan laptop ke atas meja yang berada dua langkah di seberang tempat tidur. Kabel charger yang tengah menyedot listrik dari dalam stavol juga mengikuti induknya, laptopku, kemana pun ia pergi. Dan hal ini membuat kabel yang awalnya menjalar lurus seperti rambut lurus mulus para bintang iklan sampoo, berubah menjadi acak adut gak karuan. Parahnya kabel itu tidak tergeletak lengket dengan lantai tapi bergelombang di sepanjang kabel. Setelah menaruh laptop di atas meja, aku mengambil langkah besar hendak berlari, namun sayang langkah besar itu membawa malapetaka untuk laptopku. Kabel charger yang bergelombang tadi menghadang pergelangan kakiku namun tak berhasil menghalau kekuatan langkahku sehingga ia justru ikut bersama pergelangan kakiku. Sayangnya ia juga membawa induknya bersamanya, sang laptopku. 
DUAAKKK.....
Jadilah induk sang kabel, laptopku, terhempas bersama dengan modem yang menjadi dot untuk laptopku. Laptopku yang tadinya masih menyala, menampilkan foto profil seorang cowok, sedetik kemudian tak sadarkan diri, lalu menutup mata, sang layar memeluk sang keyboard dengan romantisnya. 
Aku, aku hanya berdiri tak berkutik melihat laptopku mengalami kecelakaan berdarah. Sekedip berikutnya, aku pun memberikan pertolongan pertama pada laptop kesayanganku, aku mengangkatnya kembali ke atas meja, memeriksa luka-lukanya apakah meninggalkan banyak goresan. Aku melepaskan modem yang tadi di-dot oleh laptopku, dan ku dapati sang modem mengalami patah tulang, colokannya tidak lagi sejajar dengan kepalanya. Aku merebahkannya di samping laptopku. Aku kembali memeriksa sekujur tubuh laptopku. Aku mencoba membangunkannya, dengan rintih laptopku mencoba mengatakan kalau ia baru saja mengalami kecelakaan dan mengalami benturan sehingga tak bisa membuka mata dengan cara biasa, aku harus memilih menyadarkannya dengan "SAFE MODE" atau "OPEN WINDOWS NORMALLY", sungguh pilihan yang sangat berat. Aku berpikir tidak mungkin, aku memaksakannya untuk sadar dan melakukan aktivitas berat seperti biasa, aku harus mengerti perasaannya, sehingga pilihanku jatuh pada SAFE MODE. Setelah laptopku berhasil sadar meski belum sepenuhnnya, aku memeriksa bagian-bagian vital lainnya. 
Aku membuka beberapa program, mengecek tombol-tombol keyboard, mengelus-elus touching pad, semuanya baik-baik saja, semoga. Aku membiarkannya istirahat kembali, memulihkan keadaannya dan juga keadaanku sendiri. Karena aku juga tidak dalam kondisi baik, I'm shaking, gemetar luar biasa. Aku takut laptop kesayanganku ini benar-benar tewas atau ada bagian yang rusak parah. Aku takut Ibuku marah karena bagiku laptop ini bukan barang yang mudah dibeli hanya dengan beberapa rupiah, akan tetapi perlu banyak sekali rupiah.
Aku kembali menengok sang modem yang patah tulang tergeletak di samping laptopku. Kucoba meluruskan kembali tulangnya tetapi tidak bisa. Sepertinya ini sudah patah permanen tidak bisa diperbaiki, tapi tak apa seperti ini asalkan dia tetap masih bisa memberikan suplay susu (red : internet) untuk laptopku. Aku membiarkan laptopku dan teman-temannya beristirahat. Aku pun melakukan apa yang tadi menjadi niatku (red : makan). Mencoba menikmati makanan lezat buatan ibuku meskipun masih dengan tangan bergetar. Makanan ini tetap enak. 
Setelah menit-menit berlalu, setelah laptopku tak lagi kesakitan, aku kembali menyalakan laptop penuh harap semua baik-baik saja. Awal yang bagus, laptopku menyadarkan diri dengan normal, aku menunggunya sampai benar-banar sadar. Lagi, aku mengecek beberapa program, mengecek sensitivitas keyboard dan touching pad, syukurlah semua masih baik-baik saja, Amin. Selanjutnya aku mengecek suplay susu untuk laptopku. Masalah mulai muncul, kerusakan pada modem membuat bentuk tubuhnya tidak sesuai lagi dengan bibir sang laptop (red : lubang USB). Sedikit takut, aku memeriksa apa lekukan kecil itu bisa diperbaiki. Untunglah masih bisa di luruskan dengan sedikit dorongan. Alhamdulillah, ternyata laptopku masih bisa menge-dot pada modem. Dan jadilah tulisan alay ini. Tetapi sungguh, tragedi ini memberikan aku pelajaran untuk selalu berhati_hati dengan hal-hal yang panjang, hahaha. Terima kasih ya Allah, masih memberikan umur panjang untuk my sweet laptop, dan laptop, kamu juga harus selalu sehat, aku akan selalu untuk menjaga mu sayangg... Mumumumumuaachhhh



Sebelum kecelakaan
Charger jenguk induknya, laptopku


Foto bersama

Modem yang patah tualang (lihat kepalanya bengkok)

Senin, 05 Agustus 2013

Ternyata Begini Rasanya

      Ternyata rasanya seperti ini. Aku baru bisa merasakannya sekarang. Rasanya tidak enak, rasanya aneh, rasanya tidak semangat, rasanya berbeda. Apa ini yang dirasakan oleh orang lain? Aku serasa tidak berada di rumah. Bahkan ini terasa lebih sulit dibanding sendirian di kost. Ini bukan seperti yang aku harapkan, bukan seperti yang selalu aku bayangkan, bukan kebersamaan yang aku inginkan.
      Rumahku yang terletak di pinggiran Kalimantan ini sudah terasa berbeda dari setahun yang lalu ketika aku berangkat kuliah, berbeda karena tidak ada ibuku yang selalu mengomel, tidak ada ibuku yang bisa ku ajak bicara, tidak ada ibu yang bisa aku goda. Kini ibu sudah sibuk bekerja di luar, berusaha mencari beberapa ratus ribu sebagai tambahan uang keluarga. Untuk satu atau dua hari, aku masih bisa terima sendirian di rumah. Tetapi kini setelah beberapa hari terlewati tanpa Ibu di rumah, rasanya benar-benar berbeda, rasanya sedih. Kini tidak ada lagi bau harum masakan Ibu untuk menyiapkan makanan buka puasa, tidak ada lagi Ibu yang minta pendapatku untuk memasak makanan apa, tidak ada Ibu di dapur. Di bulan puasa ini, tidak ada lagi suara berisik mixer dan blender Ibu yang kerepotan membuat kue. Aku rindu semua itu.
      Ibu berangkat pagi dan baru pulang satu jam sebelum buka puasa. Ibu sudah bawa makanan untuk berbuka puasa. Makanan yang Ibu bawa termasuk makanan enak, lauk daging atau ayam, kadang ikan yang harganya mahal, udang besar, dan lainnya. Biasanya aku akan sangat bersemangat dengan piring yang sudah terisi penuh dengan nasi, tetapi entah kenapa meskipun aku lapar, makanan itu tidak membuat aku bersemangat, hanya makan sekiranya saja, mencoba menghargai apa yang dibawa ibuku. Walaupun makanan itu terlihat enak, aku merasa makanan itu biasa saja. Lidahku sudah terbiasa dengan bumbu masakan Ibuku yang sedap. Orang bilang masakan Ibuku hambar karena tanpa vitsin, tapi bagiku makanan Ibu yang paling seger tanpa bikin tenggorokanku gatal. Pekerjaan ibu membuatku kangen ibu dan masakannya. Terlebih lagi, tak ada waktu untukku untuk bercengkrama dengan ibu di malam hari karena ia selalu tertidur lebih awal di maam hari karena kelelahan, kalau sudah begitu aku tak tega membuat kegaduhan sedikitpun dengan adikku.
      Semenjak aku kuliah, Ibu mulai mencari pekerjaan sampingan karena gaji yang diterima bapak tidak akan cukup untuk memenuhi keperluan kuliahku dan kebutuhan rumah. Aku bukan anak yang pandai, apalagi untuk setara dengan anak-anak Jawa. Aku berusaha mencari beasiswa, tetapi dengan kemampuan otakku yang segini sepertinya aku bukan apa-apa. Aku tidak tahu bagaimana harus membantu Ibu, yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah berhemat sehemat mungkin. Aku memang tidak bisa protes dengan pekerjaan Ibu karena memang keluargaku membutuhkannya. Aku hanya belum terbiasa dengan ketidakkeberadaan ibu di rumah karena sejak dulu ketika aku pulang sekolah, orang pertama yang selalu mendengar ceritaku adalah ibu. Aku hanya perlu beradaptasi lagi dengan suasana baru ini. Tak ada ibu di rumah itu rasanya sedih.