Sabtu, 20 Juli 2013

My Flat Love

        Aku benci film-film romantis. Bukan berarti film itu jelek ataupun terlalu cengeng, tapi karena aku yang tidak sanggup untuk terus mengkhayal. Aku muak terus bertanya, kapan aku punya cerita cinta seperti itu? Kapan aku punya lelaki yang berkorban segalanya untukku? Pikiran-pikiran iri seperti itu yang membuatku lelah, karena sampai sekarang aku belum pernah merasakan cinta seperti itu.
        Ketika aku menyukai seseorang, aku hanya sanggup memperhatikannya, melihatnya tertawa, melihatnya luar biasa. Tapi hanya sanggup melihat. Aku bahkan tidak berani mendekat. Ketika dia datang ntuk menyapa, mencoba mengobrol denganku, hal itu adalah hal yang tidak akan pernah terlupakan. Setidaknya dia menganggap aku ada di sekitarnya. Perasaan luar biasa itu yang selalu membuatmu tersenyum sepanjang ahari, tidak peduli masalah apa yang sedang menimpamu. Aku selalu ingin perasaan seperti itu.
        Namun perasaan itu seringkali cepat menghilang padaku, tidak ada kelanjutannya. Perasaan yang terjadi jutru berubah menjadi perasaan ditinggalkan. Dia yang datang akan pergi menjauh. Dia pergi setelah aku mencoba dekat. Aku selalu bertanya, apa yang salah? apa yang kurang? Apa aku membosankan? Disela pertanyaan itu aku hanya mampu memaki. Dasar wanita Bodoh. 
        Semua cerita cintaku hanya berakhir seperti itu, tak pernah ada ending, hanya berhenti di tengah jalan. Selanjutnya aku kembali menunggu. Menunggu siapa lagi yang menganggap aku disekitarnya. Selama menunggu itu, aku menghindari khayalan nakal. 
         Meskipun cerita hidup dan cintaku terasa flat. Aku masih punya harapan, bahwa suatu saat akan ada yang datang untuk mengambil tulang rusuknya, yang tersimpan padaku. Tuhan tidak akan membiarkanku sendiri. Butuh waktu untuk mendapatkan kesempurnaan, dan butuh waktu pula bagi yang datang untuk menyempurnakanku. Kekekekekekk, tiba-tiba aku berubah alay. 

Kamis, 18 Juli 2013

Semua yang Rusak Tidak Pernah Kembali Sempurna

    Sesuatu yang telah rusak tidak akan pernah bisa kembali sempurna seperti semula meskipun telah diperbaiki. Apapun itu, semua tidak akan pernah kembali seperti semula, ketidaksempurnaan itu mungkin tidak terlihat namun itu ada nyata, entah itu untuk benda mati maupun benda hidup. Alat-alat yang rusak akan tetap meninggalkan kecacatan meski telah diperbaiki. Sama halnya dengan manusia, ketika terjadi kerusakan dalam diri manusia maka selalu ada bekasnya dan tidak akan pernah hilang. Sebagai contohnya ialah penyakit yang menyerang tubuh manusia, penyakit itu tidak pernah hilang, dia hanya diam, bersembunyi dalam salah satu ruang tubuh manusia. Dia akan selamanya disitu, tak akan pernah pergi dan lenyap dari tubuh manusia. 
     Bukan hanya penyakit yang dapat menimbulkan kerusakan dalam diri manusia melainkan juga rasa marah. Amarah adalah hal yang tak pernah bisa terhapus dalam diri manusia meskipun telah berusaha dilupakan. Kita manusia pernah merasa tidak percaya, dihina, tidak dihargai, di-under estimate, dilecehkan dan lainnya yang membuat diri kita marah. Amarah itu akan berinkubasi menjadi benci dan menimbulkan penyakit dendam yang akan menginfeksi pintu maaf. Sekali pun sempat diobati, dalam diri manusia itu telah terluka, luka itulah yang menimbulkan cacat yang tak akan pernah hilang. 
        Bagiku, semakin lama, semakin banyak umur manusia maka akan semakin sering manusia diserang oleh rasa amarah sehingga semakin banyak pula rasa maaf yang terluka. Sehingga sebenarnya, semakin lama manusia tumbuh berkembang justru semakin sakit dirinya. Kita, aku rasa hanya hidup dalam kepura-puraan, pura-pura baik, pura-pura tersenyum, pura-pura memaafkan karena sebenarnya di dalam diri kita, sudah terpupuk rasa benci terhadap yang lainnya. 
      Kita yang sudah terlanjur benci, akan dengan mudah menemukan kesalahan orang lain entah itu kebiasaan buruknya, sikapnya, atau kelemahan karakternya. Bagi kita ada saja alasan untuk membuatnya salah, dan inilah salah saatu gejala dari masa inkubasi. Penyakit ini akan terus berlanjut dengan tidak ingin menatapnya, tidak ingin berbicara dengannya dan tidak ingin berurusan dengannya, yang terpenting menjauh darinya. Dan yang membuat kita itu payah adalah kita tidak bisa menahan untuk tidak mengajak orang lain untuk juga membenci orang yang kita benci. Kita akan bercerita panjang lebar tentang prespektif buruk kita tentang orang lain, dan teman cerita itu seringkali 95%, juga akan berpandangan buruk tentang orang lain tersebut. Dan pada akhirnya pandangan buruk itu sudah akan melekat dalam pikiran kita, ketika tidak diobati kalimat yang muncul adalah "Nggak sudi aku maafin dia." Meskipun sempat ada usaha untuk mengobati, semuanya tidak pernah baik lagi. Hal yang muncul selanjutnya hanyalah kepura-puraan, pura pura tidak terjadi apa-apa, pura-pura peduli, pura -pura baik dan pura-pura tersenyum, semuanya hanya pura-pura. Karena kemarahan itu akan terus membuat diri kita selalu membencinya, membicarakannya kelemahannya dibelakang. Karena manusia itu telah terluka. Bahkan terkadang ketika berusaha dilakukan pengobatan, justru membuat manusia itu bertambah rasa sakitnya karena mungkin ada hal yang sedikit banyak kita ketahui tentang berbagai alasan yang tiba tiba terbentuk untuk membuat salah itu semakin salah. 
        Masih belum sadarkah kita, bahwa sebaik apapun sebuah hubungan suatu saat pasti akan sakit. Dan sakit itu tidak akan pernah terobati, dan sakit itu akan selalu membuat guratan memori yang membuat gundukan bekas yang kokoh yang tak akan pernah hilang meskin dihapus oleh topan,