Hadehh.. kapan aku bisa nulis cerita bahagia di blog ini. Yang ada cuma kebodohanku, ketidakbersyukuranku, kesedihanku, isinya hanya berputar putar pada hal itu saja. Tidak ada yang membuat aku tersenyum kalau aku membaca kembali isi isi di blog ini. Dan saat ini pun aku sedang mengeluh. Sial/
Hari ini praktikum Kimia Analitik Dasar, dan pada praktikum ini aku benar-benar menemukan kepayahanku, praktikumku hanya dapat 61. Dasar bodoh bodoh bodoh bodohh.. rasanya aku muak dengan semua praktikum praktikum ini.. karena selalu aku yang menyebabkan banyak kesalahan dalam praktikum, dan membuat teman teman sekelompokku nilainya jadi ikut rendah. dasar payahhhhhhh!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Rabu, 23 Oktober 2013
Rabu, 16 Oktober 2013
Aku Memang Bukan Apa-Apa
Sedih, sedih yang tak terdefinisi, hanya terasa begitu sakit, mungkin hanya mata yang mampu mengekspresikannya. Air mata ini jatuh dengan sendirinya, padahal aku tengah tertawa. Karena semuanya hanya kepura-puraan. Senyum ini, kebahagiaan ini, binar ini hanya sebuah tipuan, aku sakit, sungguh sakit dada ini sesak dan pikiran ini terus menghantam dengan berbagai pertanyaan keputusasaan. Setiap kaliamat, setiap cerita yang membuatnya gembira, terasa semakin menusuk bagiku.
Apa yang salah? Kenapa? Aku harus bagaimana? Rasanya aku sudah berusaha yang terbaik, lalu apa lagi?Rasanya aku ingin menangis kencang dihadapan Tuhan, kenapa aku hanya selalu menjadi penonton, penonton kebahagiaan orang lain. Kenapa kesenanganku selalu dirampas orang lain. Bisakah aku merasakannya lebih lama lagi? Bisakah lebih lama lagi aku dibuat tersipu malu? Bisakah lebih lama lagi aku tak bisa jauh dari ponselku? Bisakah lebih lama lagi ponselku terus berdering? Bisakah? Aku ingin seperti mereka, yang merasakan senangnya terjatuh. Aku juga ingin merasakan betapa gugupnya ketika dia datang. Aku juga ingin merasakan bagaimana akrabnya sebuah obrolan yang tanpa henti. Aku ingin, sungguh sangat ingin. Kapan aku bisa merasakan itu? Kenapa selalu orang-orang disekitarku yang selalu mendapatkannya? bahkan mendapatkan apa yang paling aku dambakan.
Aku baru mengerti rasanya sakit yang tertutupi senyum. Ketika aku hanya dibawa terbang perlahan, tidak tinggi dan tidak indah pemandangannya namun dia memegang tanganku, terasa seperti menjagaku, seperti melindungiku, Aku sangat bahagia meski tak memandang wajahmu, meski hanya merasakan genggaman tanganmu, Aku sudah sangat senang. Begini saja, aku ingin seperti ini saja berlansung lebih lama, hanya lebih lama tidak ada yang lain. Namun semua selalu berakhir sama, akhirnya aku selalu terbang sendiri tanpa pegangan. Dia pergi, terbang lebih tinggi, lebih jauh, bersama yang lain, bersama orang yang paling dekat denganku. Rasanya sangat menyakitkan melihatmu pergi bersamanya, dengan senyummu yang tak lepas dari wajahnya. Aku pun tak sanggup berada di belakang kalian, aku berhenti dan memilih terjatuh saja. Seringkali aku bertanya, aku ini siapa? Kenaa dia memperlakukan aku seperti ini? Jangan datang ketika kamu hanya singgah, karena kamu membuatku bahagia dan sakit di waktu yang bersamaan. Bahkan, aku harus berpura-pura senang ketika orang terdekatku bercerita tentang dirimu. Sakitnya sungguh bertubi-tubi.
Hingga saat ini aku meyakini akan ada seseorang yang disiapkan untukku, orang yang bisa terus menggenggam tanganku dan tak berhenti tersenyum pada semua kelemahanku, namun aku mulai goyah akan kepercayaan itu. Aku ini siapa? Aku punya apa untuk mendambakan hal seperti itu? Aku tidak akan pernah dapatkan kebahagiaan seperti itu. Namun mulai saat ini aku tidak yakin lagi!!
Senin, 14 Oktober 2013
Taylor Swift – Never Grow Up
And, it’s so quiet in the world tonight
You’re little eyelids flutter cause you’re dreaming
So, I took you in
Turn on your favorite night light
To you, everything’s funny
You got nothing to regret
I’d give all I had, honey
If you could stay like that
You’re little eyelids flutter cause you’re dreaming
So, I took you in
Turn on your favorite night light
To you, everything’s funny
You got nothing to regret
I’d give all I had, honey
If you could stay like that
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
Just stay this little
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
It can stay this simple
Don’t you ever grow up
Just stay this little
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
It can stay this simple
I won’t let nobody hurt you, won’t let no one break your heart
And no one will desert you
Just try to never grow up, and never grow up
And no one will desert you
Just try to never grow up, and never grow up
You’re in the car on the way to the movies
And, you’re mortified
You’re mom’s dropping you off
At, fourteen there’s just so much you can’t do
And you can’t wait to move out someday and call your own shots
But, don’t make her drop you off around the block
Remember that she’s getting older too
And don’t lose the way that you dance around in your PJ’s getting ready for school
And, you’re mortified
You’re mom’s dropping you off
At, fourteen there’s just so much you can’t do
And you can’t wait to move out someday and call your own shots
But, don’t make her drop you off around the block
Remember that she’s getting older too
And don’t lose the way that you dance around in your PJ’s getting ready for school
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
Just stay this little
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
It can stay this simple
Don’t you ever grow up
Just stay this little
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
It can stay this simple
And no one’s ever burned you
Nothing’s ever left you scarred
And even though you want to
Just try to never grow up
Nothing’s ever left you scarred
And even though you want to
Just try to never grow up
Take pictures in your mind of your childhood room
Memorize what it sounded like when your dad get’s home
Remember the footsteps, remember the words said
And all you’re little brothers favorite songs
I just realized everything I had is someday gonna be gone
Memorize what it sounded like when your dad get’s home
Remember the footsteps, remember the words said
And all you’re little brothers favorite songs
I just realized everything I had is someday gonna be gone
So, here I am in my new apartment
In a big city, they just dropped me off
It’s so much colder than I thought it would be
So, I tucked myself in and turned my night light on
Wish I’d never grown up
I wish I’d never grown up
In a big city, they just dropped me off
It’s so much colder than I thought it would be
So, I tucked myself in and turned my night light on
Wish I’d never grown up
I wish I’d never grown up
Oh, I don’t wanna grow up
Wish I’d never grown up
Could still be little
Oh, I don’t wanna grow up
Wish I’d never grown up
It could still be simple
Wish I’d never grown up
Could still be little
Oh, I don’t wanna grow up
Wish I’d never grown up
It could still be simple
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
Just stay this little
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
It can stay this simple
Don’t you ever grow up
Just stay this little
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
It can stay this simple
I won’t let nobody hurt you
Won’t let no one break your heart
And even you want to
Please, try to never grow up
Won’t let no one break your heart
And even you want to
Please, try to never grow up
Oh, whoa
Don’t you ever grow up
Oh, whoa
Never grow up
Just never grow up
Don’t you ever grow up
Oh, whoa
Never grow up
Just never grow up
SUKA BANGET SAMA LAGU INI..!
Kamis, 26 September 2013
Bukan Aku Lagi
Bima mulai mengurangi
kecepatan motornya, itu berarti rumahku tidak jauh lagi. Aku yang sedari tadi berlindung
di balik punggung Bima, tak ingin melawan pukulan dingin angin malam, perlahan ku
tegakkan kepala dan punggungku. Kedua
tanganku yang melingkar erat di pinggang Bima pun aku longgarkan. Udara malam
yang lembab terhirup hidung dalam-dalam, aku menyebarkan pandangan ke jalanan
yang sepi. Pandanganku lalu segera tertuju pada sebuah siluet di depan sana.
Siluet seorang pria tengah terduduk lesu bersandar pada pintu gerbang rumahku,
berteduh di bawah lampu jalan. Pelan, motor Bima mendekati pintu gerbang
rumahku, semakin jelas lekuk-lekuk tubuhnya. Deru gemuruh suara motor Bima berhasil
memanggilnya untuk menoleh. Pria itu lalu berdiri dari tempatnya, menyambut
kedatangan kami, kini wajahnya tak lagi tertutup gelapnya malam namun berganti
tersorot sinar lampu motor Bima, di wajahnya jelas terlihat kedua matanya
menyipit karena silau.
“Arya,” gumamku dari
atas motor. Sudah seminggu, sejak pertengkaran di pesta itu, Arya tak
menghubungiku sama sekali. Aku begitu lega melihat sosoknya lagi. Aku segera turun
begitu Bima menghentikan motornya, cepat menghampiri Arya. “Arya, aku minta
maaf. Jangan tinggalin aku. Aku masih sayang sama kamu, hanya saja aku nggak
betah dengan sikap posesifmu,” uraiku penuh dengan jeda. Namun, Arya tak
mengindahkanku, ia justru berjalan melewatiku, menghampiri Bima yang berdiri di
dekat motor.
BUKKK.
Belum sempat Bima
bersiap mempertahankan diri. Kepalan tangan Arya mendarat mulus di pipi Bima.
Arya menarik kerah Bima, menghantamkan pukulannya pada wajah Bima beberapa kali.
Puas. Arya pun melepaskan kerah Bima, membiarkannya tersungkur. Arya membiarkan
Bima bangkit berdiri lagi. Kembali Arya melayangkan kepalan jarinya, namun Bima
telah bersiap, ia dapat menghindar. Arya yang lengah, membuat Bima memiliki
kesempatan untuk menghantamkan pukulan ke perutnya berkali-kali. Arya pun jatuh
terjerembab. Susah payah, Arya berdiri lagi dan mengayunkan tinjunya. Namun
sekali lagi Bima dapat menghindar, ditahannya tubuh Arya, lutut Bima yang
menukik, menghantam perut Arya. Arya jatuh lagi dengan posisi dada menghempas
aspal. Belum puas, Bima kembali menendang tubuh Arya hingga terguling-guling. Setiap
kali Arya bangkit berdiri, pukulan menghampirinya. Bima tak merasa getir melihat
ketidakberdayaan Arya. Sekali lagi Bima perlahan menghampiri Arya yang
tergeletak, kembali diayunkan kaki kanannya. Namun, justru kini Bima yang
terjungkal ke aspal. Belum sempat kaki Bima menendangnya, Arya menahan kaki
kanan Bima terlebih dahulu hingga Bima kehilangan keseimbangan dan jatuh. Seperti
telah hilang rasa sakitnya, Arya menduduki tubuh Bima, menahan kedua lengan
Bima dengan lututnya dan mengumpulkan semua kekuatan pada tangan kanannya.
Wajah Bima kini sama halnya dengan wajah Arya, berlumuran darah di segala
penjuru, bibir, hidung, dan pelipis.
Aku menangis ketakutan
melihat mereka berdua berkelahi. Berkali-kali aku berteriak untuk berhenti, namun
tak ada yang mendengarkan. Aku hanya diam di tempat, menangis, berteriak, tak
sanggup mendekat. “Berhenti Arya! Berhenti! Aku takut sama kamu!! Berhenti
Ar!!” jeritku tak karuan. Pijakanku terasa lemas, tak sanggup menopang tubuhku
yang gemetar, aku luruh terduduk. “Sudah Ar.. sudah..! Aku takut, Ar..! Aku
takut.. ” suaraku lirih.
Arya berhenti memukul,
berdiri perlahan, ia melangkah mundur dengan tubuh terhuyung-huyung, menjauhkan
diri dari tubuh Bima, mengatur nafasnya yang terengah-engah. Sementara Bima
memegang perutnya, merintih, menahan sakit. Aku sendiri masih terisak-isak, aku
memandangi Arya. Arya lalu menatapku tanpa reaksi lebih sekedar memandangi
saja, menatap dalam-dalam. Tak lama ia membalikkan badan, membelakangiku dan Bima
yang masih tergeletak di aspal. Hening. Arya mendongakkan kepalanya ke langit
seperti kebiasaannya. Setiap kali ia merasa bingung, ia mengadu pada langit
malam, mencoba merasukkan malam pada dirinya, membuatnya tenang kembali. Aku
menatap lekuk punggungnya yang masih turun naik dengan cepat, tubuh itu kini
penuh keringat, luka dan darah. “Gue turutin permintaan lu,” ucap Arya tiba-tiba.
Ia berjalan dengan terpicang-pincang, menjauh dariku, semakin lama semakin
hilang seolah malam mengantarkannya pulang. Aku terlalu sibuk menangis, lidahku
kelu, bahkan tak sanggup hanya untuk mencegahnya pergi lagi.
****
Hari semakin sore namun
matahari senja tak dapat memamerkan sinar emasnya karena hitam menutupi langit.
Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air ke bumi, menandakan
besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan
gedung tua pun ikut terhanyut olehnya. Tetes hujan yang
jatuh memainkan alunan nada rindunya sendiri, terasa begitu sendu namun justru
melegakan. Pada deretan tiga jendela, aku duduk bersila di jendela paling
kanan, kedua telapak tanganku menyangga dagu, menopang kepalaku. Rintik-rintik
nakal menerpa kaca jendela dihadapanku, bening, kecil dan banyak, mencoba
menerobos, ingin menyentuhku. Ingin menghapus rinduku juga.
Tiga bulan sudah Arya
menghilang sejak kejadian malam itu, tak ada kabar, seperti hilang ditelan
malam. Setiap kali ingat ucapan Arya malam itu, untuk menuruti permintaanku,
aku marah. Aku hanya memintanya jangan bersikap posesif, bukan pergi. Aku
mengutuknya karena salah mencerna ucapanku. Meski, sesungguhnya aku pun merasa
bersalah. Keadaan memang berubah drastis sejak saat itu.
****
Cafe tempat biasa aku
dan Arya makan bersama menambahkan fasilitas baru live music. Lagu Beyonce
“When You Believe” mengalun merdu memenuhi sudut ruanagan. Arya duduk
membelakangi posisi tempat para pemain band itu tampil sehingga ia tidak begitu
memperhatikan, atau lebih tepatnya tidak memperdulikan.
“Wah lihat, ada live
musiknya sekarang!” ucapku kagum.
“Nggak pengen lihat,
pengen lihat kamu aja,” jawab Arya santai.
Aku menyimpitkan mata,
tersenyum simpul. Ucapan sederhana itu masih mampu membuatku tersipu malu meski
sudah dua tahun, kami berpacaran. Meski sudah dua tahun, aku masih sering
didera rasa cemburu oleh cewek-cewek yang datang menggodanya. Bagaimana tidak,
Arya itu seperti makhluk perfect, maniak olahraga, jago musik, wajahnya mirip Mario
Maurer, apalagi dengan lesung pipitnya yang manis yang terbentuk tiap kali ia
tersenyum, melelehkan hati kaum hawa. Ia sudah kuliah semester lima, sementara
aku masih menjadi anak paling senior di SMA. Namun, dengan semua
keperfect-annya, dia tidak pernah selingkuh dan juga tak merasa risih dengan
statusku yang masih SMA, ia justru sangat dewasa dalam membimbing dan
menghadapi sifat kekanak-kanakkanku. Itulah yang membuatnya menjadi Aryaku yang
sempurna. Aku akan butuh waktu sangat lama untuk move on kalau harus putus dengan Arya.
Tak lama setelah lagu
berakhir, seorang pria sudah berada di samping meja makan kami. Pria ini
gayanya seperti Arya, anak kuliahan, kulitnya bersih, kaos biru gelap dan
celana jeans hitam membalut tubuhnya yang tinggi gagah, bentuk wajah yang oval
membuatnya memiliki ketampanan yang terselubung, sayang air mukanya terlihat
suram, matanya memancarkan kemarahan. Aku pikir ia tertarik oleh kecantikanku,
ternyata ia justru memandang Arya sambil tersenyum sinis, tatapannya dalam
seperti mengatakan sesuatu yang hanya dimengerti olehnya dan Arya. Benar saja,
kedatangan pria ini membuat Arya terperangah, seperti tengah melihat sesosok
hantu.
Pria itu megalihkan
pandangannya padaku sesaat, lalu mengambil ponselku yang ada diatas meja, mengetik
sesuatu, menaruhnya kembali di atas meja. Pria itu kembali menatapku yang
tengah melongo. “Gue udah nge-save nomor gue, nanti gue hubungin lu. Atau lu
bisa datang kesini aja, gue selalu tampil disini,” ucapnya dingin dan galak.
Gila, ini cowok deketin cewek orang di depan pacarnya si cewek langsung, nggak pakai basa-basi. Baru selangkah
pria ini hendak pergi dari meja kami, ia berbalik, menatapku lagi. “Tenang aja,
gue temen lama Arya,” sembari tersenyum kecil dan menepuk pundak Arya. Berbalik
dan berlalu pergi, kembali ke tempat para pemain band berkumpul.
****
Arya bukanlah Arya
sejak malam itu. Arya berubah menjadi sangat-sangat-sangat posesif. Malam
setelah kejadian itu, Arya berkali-kali menelponku hanya untuk menanyakan hal
yang sama, “Apa cowok itu ngehubungin kamu?” Dan setiap kali ditanya kenapa dia
begitu panik, jawabannya selalu sama, “Nggak
apa-apa.” Padahal cowok itu juga sebenarnya tidak menghubungiku sama sekali. Entahlah,
sejak saat itu Arya selalu ketakutan dan gelisah. Dia selalu mengantar jemputku
ke sekolah, ke tempat les, entah dari mana dia punya waktu untuk kegiatan
antar-jemput ini, bagaimana dengan kuliahnya sepertinya ia tidak peduli. Dia
bahkan berubah menjadi sangat cerewet dibanding mamaku sendiri, kalau nggak jawab telpon atau nggak balas sms secepatnya, Arya bisa
tiba-tiba nongol depan rumah atau ponselku isinya misscall-an dia semua.
Pada satu titik, aku
sudah benar-benar muak dengan jawaban, nggak
apa-apa, gue cuma khawatir aja. Klise. “That’s enough! Gue nggak mau lagi kayak gini! Pokoknya
harus cerita, apa yang bikin Arya-ku berubah kayak gini! Penjelasan sekarang!
atau we break up!” ancamku dongkol.
Arya terdiam. Ia
menunduk membuang nafas lewat mulut. Sepertinya Arya masih mempertimbangkan
bagaimana cara mengungkapkannya. Ia menghela nafas panjang. “Cowok yang waktu
itu namanya Bima. Dulu gue pernah nyakitin dia. Gue pernah ngambil orang yang
paling dia cintai. Tetapi setelah itu gue ninggalin orang yang paling dicintai
Bima karena sebuah alasan. Gue nggak tahu kabarnya lagi sejak itu, tetapi sejak
itu gue tahu Bima sangat membenci gue. Dan gue takut kamu jadi pelampiasan
kemarahannya. Jadi gue mohon jangan pernah dekat sama dia,” Arya mengakhiri
ceritanya dengan sebuah permintaan yang tidak bisa aku tepati.
Aku tak bisa lagi menahan
pikiranku, aku mendatangi cafe tempat Bima manggung, duduk sendiri melihatnya
sedang bermain gitar. Tanpa aku panggil, Bima datang sendiri menghampiriku. Ia
duduk dan melipat tangan di depan dadanya menatapku sesaat lalu berpaling lagi,
“Jadi, Arya cerita apa ke lu?” Aku cukup terkejut dengan lontaran pertanyaan Bima
tetapi aku tak mau ambil pusing, aku tak perlu lagi repot basa-basi hal yang
tak penting. Aku mengulang apa yang telah diceritakan Arya padaku, kecuali
bagian yang tak boleh dekat-dekat dengannya. Aku memintanya untuk memaafkan
Arya. Arya pernah jahat, tapi kini tidak lagi. Ia pantas mendapatkan maaf. Bima
tak memandangku, ia hanya diam memandangi objek lain selain aku, sikapnya
sungguh dingin.
“Oke”, jawab Bima
singkat, masih tanpa memandangku. Aku tersenyum bangga. Ternyata ini mudah
saja.
Bima mengubah posisi
duduknya, tubuh dan bola matanya tepat menghadapku, tak lagi melipat tangan di dadanya, ia
menaruh kedua tanganya di atas meja. Membuat kepercayaan diriku tiba-tiba
luntur mendadak, aku gugup. Buruk ini buruk.
“Gue bakalin maafin
Arya tapi dengan syarat, lu harus bantuin gue nyariin seseorang sebagai ganti
orang yang diambil Arya, gimana?” tantang Bima seraya tersimpul senyum licik di
bibirnya. Aku menghela nafas panjang, ini memang tidak mudah.
****
“Hai mbak, boleh minta
pin BB-nya nggak?” pintaku dengan senyum menyeringai.
“Enak aja, gue normal
tau!” maki si cewek di tengah keramaian. Si cewek pergi begitu saja
meninggalkanku, sesekali ia menoleh ke belakang, memasang wajah jijik
terhadapku. Aku hanya bisa menunduk malu serasa tengah ditelanjangi di depan
umum. Aku menyumpah dalam hati. Sial.
“Ini semua gara-gara
lu, Bang!” cecarku pada Bima yang justru cekakakan hingga sakit perut. Beberapa
detik, ia terdiam lalu kembali terbahak-bahak, kalau nggak ingat ini tempat
umum mungkin sekarang dia sudah guling-gulingan di lantai. Ia sama sekali tidak
peduli dengan perasaanku yang berusaha mati-matian mengenalkannya dengan cewek-cewek
idaman lelaki. Sudah berminggu-minggu, aku menghabiskan waktu dengannya ke
tempat orang ‘kece’ banyak berkumpul, namun hasilnya selalu nihil. Seharusnya
ini menjadi pekerjaan mudah karena tampang, body, skill, money, semuanya
mendukung seratus persen. Masalahnya terdapat pada sikap Bima. Ia sama sekali
tak berusaha mendekati cewek-cewek itu, justru ia selalu mengabaikan
cewek-cewek yang bertingkah aneh untuk mencuri pandangannya. Setiap kali aku
bertanya seperti apa sebenarnya tipe wanita yang diinginkan, ia justru balik
menyuruhku menanyakannya pada Arya. Ini orang ngajak berantem banget.
Padahal untuk bisa
keluar bersama Bima, aku harus mengatasi ke-posesif-an dadakan Arya terlebih
dahulu. Posesif memang akan membawa dampak buruk, ia justru membuatku pandai
dalam merangkai kebohongan. Tetapi tetap saja, sejak aku sering keluar dengan
Bima, setiap malamku, akhir dari sikap posesifnya, selalu ia akhiri dengan
short message yang sama yang membuatku geram.
Hari ini kemana? Kamu ketemu sama Bima?
From : My Arya
Geram karena apa yang
dituduhkannya padaku adalah benar. Namun aku selalu berkilah sendiri dari rasa
bersalahku. Aku memang berbohong tetapi bukan berniat untuk selingkuh melainkan
berusaha menghapus rasa takutnya.
Dibalik perbudakkan
Bima padaku, aku telah melewati pertemuan demi pertemuan dengan Bima. Hal ini
justru membuat kami semakin akrab. Bahkan tak jarang kami menghabiskan waktu
berdua saja, lupa dengan tujuan utamaku, sekedar makan bersama, saling bercanda
ataupun bercerita segelintir masalah hidup. Aku mengubah pikiranku tentangnya, Bima
tidak sedingin yang aku bayangkan. Dia
sebenarnya orang yang baik dan sangat perhatian.
“Lecek banget muka lu,”
mengejekku seakan tanpa dosa. “Udah, nggak usah diinget lagi omongan cewek
songong yang tadi. Nih, gue ada sesuatu buat lu,” seraya mendorong sekotak
besar kado merah yang terhias pita putih berbentuk mawar di tengahnya di.
“Apa-an nih?” tanyaku
curiga.
“Buka aja,” jawabnya
sederhana. Bima memainkan bola matanya, mengejekku.
Segera saja aku buka
tutup kado itu, mataku memandang ke dalam isi kado, bibirku membulat, wajahku
sumringah, sesekali aku arahkan bola mataku yang berbinar-binar pada Bima
sebagai ganti ucapan terima kasih. “Nanti malam, gue jemput lu. Kita ke
pestanya temen gue. Gue udah kenalan sama seseorang, nanti malam gue juga mau
ketemuan sama dia di pesta itu. Gue mau kenalin dia ke lu, sekalian gue minta
pendapat lu,” jelas Bima sambil sesekali menyeruput cappucino hangat
pesanannya. Aku mengganguk pasti, tak ingat lagi dengan adegan memalukan tadi.
Ternyata Bima ada niatan juga nyari cewek dan masalah ini bisa selesai
secepatnya.
Malam ini Bima
menjemputku dengan mobil bukan dengan motor gede-nya,
mungkin ia sadar kalau hari ini dia pakai jas dan aku pakai gaun sehingga akan
meribetkan kalau harus naik motor. Bima mengulurkan tangannya begitu membuka
pintu mobil. Aku meraihnya seraya berdiri keluar dari mobil. Ia tersenyum ke
arahku, manis sekali. ”Cantik,” katanya. Gaun yang diberikan Bima padaku memang
cantik, gaun putih selutut, memperlihatkan bahuku, detail lekukan-lekukan kecil
di bagian rok membentuk pola yang rapi, dengan desain bertempuk dua kain di
bagian dada membuat gaun ini simple namun menawan. Aku melingkarkan tangan
kananku pada tangan kiri Bima,“Yakin gebetan lu nggak bakal jelous sama gue,
Bang?” Bima nyengir tanpa menjawab, terus berjalan menggiringku ke arah pintu
masuk sebuah rumah yang cukup besar dan sepertinya di dalam sudah ramai oleh
tamu, di teras banyak cowok-cowok saling bercengkrama. Kebanyakan dari mereka
tersenyum manis ke arahku, membuatku tersanjung.
Baru saja aku hendak
melangkah melewati pintu besar. Lengan kiriku tiba-tiba saja ditahan oleh
seseorang, sontak aku menoleh. “Arya?” aku tercekat kaget. Tanpa basa-basi,
segera menarikku menjauh dari rumah itu, berjalan sangat cepat, ia tak peduli
aku tergopoh-gopoh mengikuti langkah besarnya,. Jari-jarinya sangat kuat
memegang pergelangan tanganku, ia terlihat sangat marah. Ia terus menarikku
hingga ke jalanan. “Arya sakit! Tanganku sakit,” keluhku tak kuat lagi. Ia pun
menghentikan langkah cepatnya, membanting lenganku.
“Aku kan udah bilang
jangan ketemu sama dia! Dia itu mau nyakitin kamu. Selama ini, aku biarin kamu
jalan sama dia, tapi ini udah keterlaluan!” maki Arya kalap.
“Aku cuma mau bantuin kamu,
Ar!” aku membela diri meski rasa bersalah itu ada.
“Bantuin apa? Kamu itu
cuma mempermudah dia nyakitin aku. Kenapa sih kamu nggak bisa gunain sedikit
otakmu buat melihat situasi kayak gini!”
“Iya. Aku memang nggak
bisa apa-apa. Apapun yang aku lakuin semuanya salah. Aku memang bodoh. Asal kamu
inget, Bima bisa marah seperti itu juga karena dosa yang kamu buat sendiri,” aku
berteriak tak terima.
“Kamu harusnya nggak
usah masuk dalam masalahku!”
“Aku cewek kamu. Aku
nggak pengen liat kamu ketakutan lagi! Aku bosan dengan sikap posesif kamu!”
“Aku kayak gitu juga
karena aku pengen melindungi kamu!” bentak Arya makin keras.
“Melindungi dari apa?
Bima baik sama aku, nggak biarin aku lecet sedikit pun! Asal kamu tau, Bima
mulai melupakan kesalahan kamu,” sahutku tak kalah keras
“Itu bohong! Kamu nggak
akan ngerti!! Please, kamu harus percaya denganku.”
“Jelasin apa yang nggak
aku ngerti! Jelasin bagian mana aku harus percaya kamu!”
Diam. Arya tak lagi menjawab,
ia menundukkan kepala. “Gue nggak bisa,” desahnya.
Aku mengatur nafasku,
menghapus air mataku sudah menetes sejak tadi. “Kalau begitu berhenti mengatur
hidupku, berhenti melarangku, berhenti mengekangku. Aku punya hidupku sendiri
yang ingin aku jalani, sama halnya dengan hidupmu yang tak ingin kamu bagi
denganku. Ada hal yang ingin aku lakukan sendiri.” aku mati-matian menahan
tangis kedua pipiku sudah membasah. Aku tak menunggu jawaban Arya, aku pergi,
meninggalkan Arya yang masih diam tertunduk pasrah.
****
“Hoi!”
Aku terhenyak kaget
oleh suara teriakan barusan, terbangun dari lamunanku. Sontak kupandangi siapa
yang mengejutkanku. Lagi-lagi Bima, bukan Arya. Kukira aku sungguh terjebak
dalam lamunan, karena sama sekali tak mendengar deru suara motor Bima yang
bergemuruh. Aku juga tidak mendengar
suara bell pintu dibunyikan. Biarlah, toh juga cuma Bima. Aku kembali menidurkan malas kepalaku di bagian bawah jendela,
berbantalkan kedua telapak tanganku yang bertumpuk, tidak peduli dengan
kehadiran Bima. Aku menatap langit. Baru tersadar pula, tak
ada lagi titik air menjatuhi permukaan tanah. Hujan sudah reda. Basah dan
lembab. Menyisakan
banyak bulir-bulir air kecil pada permukaan luar kaca jendela. Bima ikut duduk
bersila di sebelahku, menatap luar, diam dan tenang, memasang wajah coolnya seperti
biasa. Sesekali Bima bersuara, menggodaku, menanyakan keberadaan orang tuaku
dan pembokatku yang tidak terlihat berseliweran dimana-mana. Orang tuaku sejak
tadi pergi ke acara pesta perusahaan, paling-paling pulangnya larut malam,
sementara Mbok Ning, nggak tau pergi kemana.
“Keluar yuk,” ajak Bima
seperti biasa.
“Males,” jawabku
singkat.
“Gue dari kemarin
ngeliat Arya di sekitar rumah temen gue. Gue mau ngajak lu kesana kalau lu
mau,” urai Bima setelah memberi waktu jeda membalas ucapanku.
Tubuhku menegak,
pandanganku terkunci pada manusia di sampingku, menatap Bima lekat-lekat seolah
tidak percaya. Bima hanya mengerutkan keningnya, memutar bola matanya, lalu
menaikan pundaknya, ”Yah, siapa tahu,” ucapnya ringan.
Aku bangkit dari tempat
dudukku. “Bang, lu tunggu di sini, gue ganti baju dulu.” Tanpa menunggu
jawaban, aku segera berlari menaiki tangga ke lantai dua menuju kamarku, aku sungguh
tak ingin membuang waktu. Aku meraih celana jeansku dan jaket yang menggantung
di lemari pakaian terburu-buru. Baru saja aku hendak mengganti celana pendekku,
pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sudah ada Bima berdiri tegap di depan pintuku,
ia menutup pintu kamarku lalu berbalik menatapku tajam. Aku mundur selangkah,
reflek. Degup jantungku mulai beradu cepat, seluruh tubuhku gemetar. Mata teduh
itu kini berubah mengerikan. “Lu mau apa, Bang?” Tidak ada jawaban, yang ada
hanya langkah kaki mantap Bima menuju ke arahku, sementara aku hanya mampu
mundur dengan langkah tak pasti. Baru saja mulutku terbuka, hendak berteriak
minta tolong. Sekian detik saja, Bima sudah berada di hadapanku dan
mendorongku, membungkam kencang mulutku hingga aku memundur dan baru terhenti
ketika telah membentur dinding, ia mengurung tubuhku melekat pada dinding, aku meronta.
Bola mataku berputar panik menatap Bima. Bima tersenyum tipis padaku,
menggeleng pelan, memberiku isyarat untuk diam. Aku langsung mengangguk diikuti
ketenangan tubuhku. Perlahan dilepaskan bekapan tangannya dari mulutku. Ia
menatapku waspada, takut kalau aku tak menurutinya. Ia tersenyum lagi, setelah
yakin aku tak akan berteriak, aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Menyembunyikan
tangis. Bima lalu memelukku, mengusap-usap rambutku. Masih dengan wajah
tertutup kedua tangan, aku terbenam di dada bidang Bima. Pasrah tak berdaya. Ia
memperketat pelukannya padaku. Hembusan nafas sesegukkanku yang tak terkendali
menerpa dadannya, membuatnya merasakan ketakutanku. Ia mengusap-usap
pungunggku. “Jangan nangis dong,” bisikknya. Meski aku masih tak bisa
menghentikan isakanku namun suasana jadi terasa sunyi. Sunyi yang mencekam dan
menimbulkan ketakutan. Untuk beberapa lama kami hanya berpelukan saja. Namun
bayangan mengerikan terus bermunculan memenuhi benakku. Tidak. Tidak boleh.
“Seharusnya lu dengerin apa yang Arya omongin.
Gue itu sama sekali nggak baik, lu malah nyerahin diri lu sama gue. Gue itu
tipikal orang yang nggak bakal berhenti, sebelum gue mendapatkan apa yang gue
mau. Dan Arya tau itu, makanya dia mati-matian menjauhin lu dari gue. Tapi lu
malah datang sendiri ke gue,” tuturnya diakhiri dengan tawa. “Kenapa lu masih
mikirin dia? Arya kan udah ninggalin lu. Kenapa lu nggak lupain dia aja. Dengan
begitu semuanya pasti akan lebih baik.” Bima meracau, membuat tubuhku menegang.
Bima mengambil nafas panjang,“Seharusnya lu nggak jadi ceweknya Arya.”
Kalimat-kalimat yang
mengalir dari mulut Bima, berkali-kali membuatku menelan ludah, bergidik
merinding. “Kenapa Arya suka sama lu, ya?” tanya Bima kemudian. “Menurut gue, lu
biasa aja,” sambungnya. Tentu saja aku tidak bisa protes atas ucapannya. Ia
merenggangkan pelukannya, membuat jarak antara tubuhnya dan tubuhku namun tak
melepaskan genggaman tangannya dariku. Aku menatapnya dengan mata nanar,
memelas belas kasihan. Namun, bola mata Bima justru menjelajahi tubuhku. Bima
tersenyum tipis, dibungkukkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar denganku, “Gue
pengen nikmatin tubuh lu dulu. Senikmat apa sih lu sampai Arya mau sama elu!”
Aku tercekat. Jantungku
terasa berhenti mendengar kalimat barusan. Sesal memenuhi dadaku. Aku merasa
sangat bodoh, tak menuruti Arya. Kembali aku memberontak liar, memukuli
dadanya, berusaha melepaskan diri dari di dekapannya, menangis sejadi-jadinya.
“Lepasin gue, Bim! Lepasin gue! Gue mohon, Bang.” Namun Bima sama sekali tak
tersentuh ibanya. Pemberontakanku pun tak membuat Bima bergeming, ia justru semakin
memperketat pelukannya. “Lepasin gue.. lepasin gue..,” tangisku tak ada henti. Kini
Bima mulai mencium bibir, leher, bahu dan dadaku yang terlihat karena kerah
bajuku yang melebar ke satu sisi, memperlihatkan tali breast-holderku, penuh nafsu. Aku menggeliat, menghindar semampuku,
tak bisa berbuat banyak karena tubuhku terjebak antara dinding dan Bima. Mati
sudah.
“Bangsat lu, Bim!”
teriak Arya yang tiba-tiba dari belakang. Ia menarik Bima dariku,
menghempaskannya ke lantai. Arya tertegun melihatku pucat pasi, basah oleh
keringat dan tangis, aku menangis, menggigil ketakutan. Arya memegang tubuhku
yang meluruh jatuh. Aku terduduk lemas bersandar pada dinding, aku begitu shock.
“Maafin gue,” gumam Arya lirih. Aku sadar, aku melihat sebutir air jatuh
menetes dengan cepat tak meninggalkan bekas. Arya meninggalkanku sendiri, ia
beralih menghampiri Bima yang tergeletak di lantai. Bima sebenarnya bisa
bangkit berdiri untuk kabur atau berbalik memukul Arya sejak tadi, tetapi tidak
ia lakukan, ia tetap diam berbaring di lantai dan tersenyum, sudah seperti
orang gila. Arya meninju Bima sekuat tenaga, persis seperti perkelahian mereka
dulu. “Bajingan lu, Bim!!” Arya memaki di sela-sela pukulannya. “Gue udah
turutin mau lu. Gue pergi dari dia. Tapi kenapa lu masih disini. Belum puas
juga lu, hah! Brengsek lu, Bim!” Arya mengamuk hebat, ia seperti tak
peduli jika ia bisa membunuhnya. Anehnya, Bima sama sekali tidak berusaha
menahan serangan Arya atau mencoba berbalik melawan, ia hanya tersenyum saja,
mengejek Arya. “Jangan ganggu hidup gue lagi, Bim. Gue cinta sama cewek itu.
Gue sembuh. Gue bukan yang dulu!” teriak Arya keras masih di sela-sela pukulannya. Dan lagi-lagi,
Bima hanya membentuk senyum di balik balutan darah yang keluar dari mulut dan
hidungnya. Arya menghentikan pukulannya, lelah dan tersinggung dengan reaksi Bima, kedua tangannya berganti mencengkram
kerah baju Bima. “Gue masih sayang sama lu, Ar. Lu itu milik gue selamanya.
Cewek itu nggak ada apa-apanya dibanding gue” ucap Bima tersendat-sendat.
“Kalau gue nggak bisa milikin elu lagi,” Bima melirik ke arahku, telunjuknya
terangkat, ditunjuknya lurus lurus wajahku, “maka dia juga nggak bisa dapetin
elu.” Jari-jari Arya semakin kuat mengepal. “BRENGSEK LU!!”
-THE
END-
Rabu, 28 Agustus 2013
Stres itu kalau dikejar deadline. Pengen ikut lomba tapi batas akhir pengiriman tanggal 25 september sedangkan ini sudah tanggal 29 Agustus. Pengen belajar kimia organik 1 tapi tanggal 2 september udah masuk kuliah awal dengan mata kuliah kimia organik 2, aku pasti keteteran lagi di kimia organik 2. Haduh panik banget ini.
Manusia adalah para pemerhati.
Setiap manusia akan memperhatikan manusia lainnya. Apalagi jika manusia itu berbeda darinya. Entah berbeda karena lebih baik atau karena lebih buruk. Manusia akan sangat memperhatikannya dan membicarakannya bersama manusia lain. Itulah manusia, jadi menurutku seorang manusia tidak perlu bersikaf naif dengan marah ketika kamu sedang diperhatikan dan dibicarakan karena kamu juga manusia yang akan memperhatikan dan membicarakan orang lain
Senin, 26 Agustus 2013
Mimpi itu Masih Terbungkus dalam Kata "Seandainya"
Kalau aku bicara tentang mimpi atau keinginan maka akan menjurus pada sebuah presepsi bahwa aku tidak pernah bersyukur. Sedihnya, cita-citaku sulit sekali tercapai. Aku pernah bermimpi ingin menjadi dokter, rasanya tidak mungkin dengan kondisi keuangan dan otakku yang sekadarnya saja ini. Bermimpi menjadi pramugari, juga tak bisa tercapai karena tinggi badanku yang 'semampai' semeterpun tak sampai. Pernah membayangkan aku menjadi seorang pelukis atau arsitektur, ternyata aku hanya seorang peniru, aku tidak pernah bisa membuat gambarku sendiri, aku hanya bisa menirukan karya orang lain, ditambah lagi untuk menjadi arsitek harus kuat dalam fisika tapi aku justru diinjak-injak olehnya. Selain itu, aku juga pernah berkhayal suatu saat ada sebuah buku dengan namaku tercantum di dalamnya sebagai sang penulis. Namun hingga saat ini, sebuah cerpen pun tak rampung-rampung. Mungkin, dulu aku pernah mengucapkan bahwa cita-citaku adalah guru, dan inilah satu-satunya cita-citaku yang terwujud, kini aku telah berada dalam prosesnya. Seharusnya aku mensyukuri ini namun seringkali ada suara dalam otakku mengatakan "Bukan ini yang aku mau", lalu aada suara lain lagi berteriak "jadi apa yang kau inginkan?!" Berhenti. Tidak ada tangggapan lagi. Suara teriakan itu hanya berputar-putar pada dua kalimat itu karena suara satu, juga tak tau apa yang sesungguhnya yang ia mau.
Untuk keinginan-keinginan kecil yanga aku kehendaki, ada yang terwujud ada yang belum. Aku tak berani mengatakan tidak karena mungkin aku masih bisa mewujudkannya. Aku berterima kasih pada Allah atas segala karuniaNya dan atas segala hal yang telah Ia kabulkan. Aku makhluk berdosa karena tidak ingat apa saja permintaanku yang telah Ia kabulkan. Justru hal yang aku ingat hanyalah yang belum dikabulkanNya. Namun aku masih ingat betapa senangnya aku saat keinginanku dikabulkan. Saat SMA aku sangat menginginkan sebuah laptop seperti teman-temanku. Karena alat itu mempermudah dalam tugas-tugas sekolah. Aku sangat ingin tetapi uang tabunganku tidak cukup untuk membelinya. Butuh minimal 5 juta untuk bisa memilikinya, namun sampai aku lulus SMA pun aku belum memilikinya. Allah tahu kapan Ia harus mengabulkan doaku. Ketika aku masuk kuliah, ibuku akhirnya membelikanku laptop karena memang diwajibkan dalam proses perkuliahan. Aku tak bisa mengungkapkan kesenanganku dalam kata per kata. Yang jelas aku bersyukur.
Hal-hal kecil yang aku inginkan itu seperti, aku punya sebuah piala, aku bisa bermain gitar, aku bisa berdagang seperti anak kos lainnya, aku bisa membuat orang tertawa, aku bisa bekerja dan begaul dalam sebuah organisasi dan juga punya banyak kenalan, aku bisa jalan-jalan jauh tanpa mabuk, yang paling penting, aku bisa tersenyum manis. Itu sedikit adalah keinginan-keinginan kecilku. Mungkin bagi orang lain hal itu mudah dilakukan, tapi orang lain tidak tau kendala apa yang aku alami singga membuat hal-hal kecil itu menjadi sulit dilakukan. Selain keinginan-keinginan kecil itu aku punya keinginan besar.
Aku punya mimpi membuat sebuah rumah besar untuk keluargaku. Bukan, bukan rumah besar tapi rumah sederhana yang memang bisa disebut sebuah rumah ideal. Sehingga adikku tidak perlu lagi menahan sakit untuk menahan malu. Sebuah rumah untuk keluargaku, itu mimpi besarku. Untuk menggapai mimpiku itu aku butuh sekitar Rp. 500.000.000,00 untuk sebuah rumah kecil di tahun 2013. Harga itu akan selalu naik setiap tahunnya, Sedangkan aku baru lulus kuliah sekitar 3 tahun lagi. Ahh, darimana aku bisa dapat uang sebanyak itu. Entahlah.
Satu hal yang baru aku sadari saat ini, aku tidak tau apa keinginan ibuku. Ia tak pernah mengatakan apa keinginannya. Yang aku tahu, ia hanya ingin aku menjadi 'orang' punya pekerjaan yang layak. Hanya itu. Selain itu aku tidak tahu lagi. Dan baru hari ini pula aku tahu apa yang benar-benar diinginkan bapakku. Ia ingin pergi hati. Ya Allah, kapan aku bisa mewujudkan semua mimpi itu. Semuanya masih terbungkus dalam kata 'Seandainya'.
Kamis, 22 Agustus 2013
Tragedi Kecelakaan 23/8
Uwaaa... Tragedi hari ini tanggal 23
Agustus 2013 jam 08.52 WIB Laptop Asus U32U series kesayanganku jatuh dari atas
meja. Dan itu akibat kesalahanku. Awal cerita dimulai karena aku tergiur aroma
makanan yang tercium dari dapur, aku yang masih menggeliat di pulau kasur
bersama sang Laptop tiba-tiba merasakan lapar yang luar biasa. Saat itu laptop
sedang dalam perjalanan menampilkan balasan retweetku. Laptop ku juga masih
dalam posisi injeksi dengan charger. Kabelnya menjulur panjang di lantai dari
bawah meja hingga ke atas kasurku
Aku yang diserang lapar buru-buru
memindahkan laptop ke atas meja yang berada dua langkah di seberang tempat
tidur. Kabel charger yang tengah menyedot listrik dari dalam stavol juga
mengikuti induknya, laptopku, kemana pun ia pergi. Dan hal ini membuat kabel
yang awalnya menjalar lurus seperti rambut lurus mulus para bintang iklan
sampoo, berubah menjadi acak adut gak karuan. Parahnya kabel itu tidak
tergeletak lengket dengan lantai tapi bergelombang di sepanjang kabel. Setelah
menaruh laptop di atas meja, aku mengambil langkah besar hendak berlari, namun
sayang langkah besar itu membawa malapetaka untuk laptopku. Kabel charger yang
bergelombang tadi menghadang pergelangan kakiku namun tak berhasil menghalau
kekuatan langkahku sehingga ia justru ikut bersama pergelangan kakiku.
Sayangnya ia juga membawa induknya bersamanya, sang laptopku.
DUAAKKK.....
Jadilah induk sang kabel, laptopku,
terhempas bersama dengan modem yang menjadi dot untuk
laptopku. Laptopku yang tadinya masih menyala, menampilkan foto profil seorang
cowok, sedetik kemudian tak sadarkan diri, lalu menutup mata, sang layar
memeluk sang keyboard dengan romantisnya.
Aku, aku hanya berdiri tak berkutik
melihat laptopku mengalami kecelakaan berdarah. Sekedip berikutnya, aku pun
memberikan pertolongan pertama pada laptop kesayanganku, aku mengangkatnya
kembali ke atas meja, memeriksa luka-lukanya apakah meninggalkan banyak
goresan. Aku melepaskan modem yang tadi di-dot oleh laptopku, dan
ku dapati sang modem mengalami patah tulang, colokannya tidak lagi sejajar
dengan kepalanya. Aku merebahkannya di samping laptopku. Aku kembali memeriksa
sekujur tubuh laptopku. Aku mencoba membangunkannya, dengan rintih laptopku
mencoba mengatakan kalau ia baru saja mengalami kecelakaan dan mengalami
benturan sehingga tak bisa membuka mata dengan cara biasa, aku harus memilih
menyadarkannya dengan "SAFE MODE" atau "OPEN WINDOWS
NORMALLY", sungguh pilihan yang sangat berat. Aku berpikir tidak mungkin,
aku memaksakannya untuk sadar dan melakukan aktivitas berat seperti biasa, aku
harus mengerti perasaannya, sehingga pilihanku jatuh pada SAFE
MODE. Setelah laptopku berhasil sadar meski belum sepenuhnnya, aku
memeriksa bagian-bagian vital lainnya.
Aku membuka beberapa program, mengecek
tombol-tombol keyboard, mengelus-elus touching pad, semuanya baik-baik saja,
semoga. Aku membiarkannya istirahat kembali, memulihkan keadaannya dan juga
keadaanku sendiri. Karena aku juga tidak dalam kondisi baik, I'm shaking,
gemetar luar biasa. Aku takut laptop kesayanganku ini benar-benar tewas atau
ada bagian yang rusak parah. Aku takut Ibuku marah karena bagiku laptop ini
bukan barang yang mudah dibeli hanya dengan beberapa rupiah, akan tetapi perlu
banyak sekali rupiah.
Aku kembali menengok sang modem yang patah
tulang tergeletak di samping laptopku. Kucoba meluruskan kembali tulangnya
tetapi tidak bisa. Sepertinya ini sudah patah permanen tidak bisa diperbaiki,
tapi tak apa seperti ini asalkan dia tetap masih bisa memberikan suplay susu
(red : internet) untuk laptopku. Aku membiarkan laptopku dan teman-temannya
beristirahat. Aku pun melakukan apa yang tadi menjadi niatku (red : makan).
Mencoba menikmati makanan lezat buatan ibuku meskipun masih dengan tangan
bergetar. Makanan ini tetap enak.
Setelah menit-menit berlalu,
setelah laptopku tak lagi kesakitan, aku kembali menyalakan laptop penuh harap
semua baik-baik saja. Awal yang bagus, laptopku menyadarkan diri dengan normal,
aku menunggunya sampai benar-banar sadar. Lagi, aku mengecek beberapa program,
mengecek sensitivitas keyboard dan touching pad, syukurlah semua masih
baik-baik saja, Amin. Selanjutnya aku mengecek suplay susu untuk laptopku.
Masalah mulai muncul, kerusakan pada modem membuat bentuk tubuhnya tidak sesuai
lagi dengan bibir sang laptop (red : lubang USB). Sedikit takut, aku memeriksa
apa lekukan kecil itu bisa diperbaiki. Untunglah masih bisa di luruskan dengan
sedikit dorongan. Alhamdulillah, ternyata laptopku masih bisa menge-dot pada
modem. Dan jadilah tulisan alay ini. Tetapi sungguh, tragedi ini memberikan aku
pelajaran untuk selalu berhati_hati dengan hal-hal yang panjang, hahaha. Terima
kasih ya Allah, masih memberikan umur panjang untuk my sweet laptop, dan
laptop, kamu juga harus selalu sehat, aku akan selalu untuk menjaga mu sayangg...
Mumumumumuaachhhh
Foto bersama |
Modem yang patah tualang (lihat kepalanya bengkok) |
Senin, 05 Agustus 2013
Ternyata Begini Rasanya
Ternyata rasanya seperti ini. Aku baru bisa merasakannya sekarang. Rasanya tidak enak, rasanya aneh, rasanya tidak semangat, rasanya berbeda. Apa ini yang dirasakan oleh orang lain? Aku serasa tidak berada di rumah. Bahkan ini terasa lebih sulit dibanding sendirian di kost. Ini bukan seperti yang aku harapkan, bukan seperti yang selalu aku bayangkan, bukan kebersamaan yang aku inginkan.
Rumahku yang terletak di pinggiran Kalimantan ini sudah terasa berbeda dari setahun yang lalu ketika aku berangkat kuliah, berbeda karena tidak ada ibuku yang selalu mengomel, tidak ada ibuku yang bisa ku ajak bicara, tidak ada ibu yang bisa aku goda. Kini ibu sudah sibuk bekerja di luar, berusaha mencari beberapa ratus ribu sebagai tambahan uang keluarga. Untuk satu atau dua hari, aku masih bisa terima sendirian di rumah. Tetapi kini setelah beberapa hari terlewati tanpa Ibu di rumah, rasanya benar-benar berbeda, rasanya sedih. Kini tidak ada lagi bau harum masakan Ibu untuk menyiapkan makanan buka puasa, tidak ada lagi Ibu yang minta pendapatku untuk memasak makanan apa, tidak ada Ibu di dapur. Di bulan puasa ini, tidak ada lagi suara berisik mixer dan blender Ibu yang kerepotan membuat kue. Aku rindu semua itu.
Ibu berangkat pagi dan baru pulang satu jam sebelum buka puasa. Ibu sudah bawa makanan untuk berbuka puasa. Makanan yang Ibu bawa termasuk makanan enak, lauk daging atau ayam, kadang ikan yang harganya mahal, udang besar, dan lainnya. Biasanya aku akan sangat bersemangat dengan piring yang sudah terisi penuh dengan nasi, tetapi entah kenapa meskipun aku lapar, makanan itu tidak membuat aku bersemangat, hanya makan sekiranya saja, mencoba menghargai apa yang dibawa ibuku. Walaupun makanan itu terlihat enak, aku merasa makanan itu biasa saja. Lidahku sudah terbiasa dengan bumbu masakan Ibuku yang sedap. Orang bilang masakan Ibuku hambar karena tanpa vitsin, tapi bagiku makanan Ibu yang paling seger tanpa bikin tenggorokanku gatal. Pekerjaan ibu membuatku kangen ibu dan masakannya. Terlebih lagi, tak ada waktu untukku untuk bercengkrama dengan ibu di malam hari karena ia selalu tertidur lebih awal di maam hari karena kelelahan, kalau sudah begitu aku tak tega membuat kegaduhan sedikitpun dengan adikku.
Semenjak aku kuliah, Ibu mulai mencari pekerjaan sampingan karena gaji yang diterima bapak tidak akan cukup untuk memenuhi keperluan kuliahku dan kebutuhan rumah. Aku bukan anak yang pandai, apalagi untuk setara dengan anak-anak Jawa. Aku berusaha mencari beasiswa, tetapi dengan kemampuan otakku yang segini sepertinya aku bukan apa-apa. Aku tidak tahu bagaimana harus membantu Ibu, yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah berhemat sehemat mungkin. Aku memang tidak bisa protes dengan pekerjaan Ibu karena memang keluargaku membutuhkannya. Aku hanya belum terbiasa dengan ketidakkeberadaan ibu di rumah karena sejak dulu ketika aku pulang sekolah, orang pertama yang selalu mendengar ceritaku adalah ibu. Aku hanya perlu beradaptasi lagi dengan suasana baru ini. Tak ada ibu di rumah itu rasanya sedih.
Sabtu, 20 Juli 2013
My Flat Love
Aku benci film-film romantis. Bukan berarti film itu jelek ataupun terlalu cengeng, tapi karena aku yang tidak sanggup untuk terus mengkhayal. Aku muak terus bertanya, kapan aku punya cerita cinta seperti itu? Kapan aku punya lelaki yang berkorban segalanya untukku? Pikiran-pikiran iri seperti itu yang membuatku lelah, karena sampai sekarang aku belum pernah merasakan cinta seperti itu.
Ketika aku menyukai seseorang, aku hanya sanggup memperhatikannya, melihatnya tertawa, melihatnya luar biasa. Tapi hanya sanggup melihat. Aku bahkan tidak berani mendekat. Ketika dia datang ntuk menyapa, mencoba mengobrol denganku, hal itu adalah hal yang tidak akan pernah terlupakan. Setidaknya dia menganggap aku ada di sekitarnya. Perasaan luar biasa itu yang selalu membuatmu tersenyum sepanjang ahari, tidak peduli masalah apa yang sedang menimpamu. Aku selalu ingin perasaan seperti itu.
Namun perasaan itu seringkali cepat menghilang padaku, tidak ada kelanjutannya. Perasaan yang terjadi jutru berubah menjadi perasaan ditinggalkan. Dia yang datang akan pergi menjauh. Dia pergi setelah aku mencoba dekat. Aku selalu bertanya, apa yang salah? apa yang kurang? Apa aku membosankan? Disela pertanyaan itu aku hanya mampu memaki. Dasar wanita Bodoh.
Semua cerita cintaku hanya berakhir seperti itu, tak pernah ada ending, hanya berhenti di tengah jalan. Selanjutnya aku kembali menunggu. Menunggu siapa lagi yang menganggap aku disekitarnya. Selama menunggu itu, aku menghindari khayalan nakal.
Meskipun cerita hidup dan cintaku terasa flat. Aku masih punya harapan, bahwa suatu saat akan ada yang datang untuk mengambil tulang rusuknya, yang tersimpan padaku. Tuhan tidak akan membiarkanku sendiri. Butuh waktu untuk mendapatkan kesempurnaan, dan butuh waktu pula bagi yang datang untuk menyempurnakanku. Kekekekekekk, tiba-tiba aku berubah alay.
Kamis, 18 Juli 2013
Semua yang Rusak Tidak Pernah Kembali Sempurna
Sesuatu yang telah rusak tidak akan pernah bisa kembali sempurna seperti semula meskipun telah diperbaiki. Apapun itu, semua tidak akan pernah kembali seperti semula, ketidaksempurnaan itu mungkin tidak terlihat namun itu ada nyata, entah itu untuk benda mati maupun benda hidup. Alat-alat yang rusak akan tetap meninggalkan kecacatan meski telah diperbaiki. Sama halnya dengan manusia, ketika terjadi kerusakan dalam diri manusia maka selalu ada bekasnya dan tidak akan pernah hilang. Sebagai contohnya ialah penyakit yang menyerang tubuh manusia, penyakit itu tidak pernah hilang, dia hanya diam, bersembunyi dalam salah satu ruang tubuh manusia. Dia akan selamanya disitu, tak akan pernah pergi dan lenyap dari tubuh manusia.
Bukan hanya penyakit yang dapat menimbulkan kerusakan dalam diri manusia melainkan juga rasa marah. Amarah adalah hal yang tak pernah bisa terhapus dalam diri manusia meskipun telah berusaha dilupakan. Kita manusia pernah merasa tidak percaya, dihina, tidak dihargai, di-under estimate, dilecehkan dan lainnya yang membuat diri kita marah. Amarah itu akan berinkubasi menjadi benci dan menimbulkan penyakit dendam yang akan menginfeksi pintu maaf. Sekali pun sempat diobati, dalam diri manusia itu telah terluka, luka itulah yang menimbulkan cacat yang tak akan pernah hilang.
Bagiku, semakin lama, semakin banyak umur manusia maka akan semakin sering manusia diserang oleh rasa amarah sehingga semakin banyak pula rasa maaf yang terluka. Sehingga sebenarnya, semakin lama manusia tumbuh berkembang justru semakin sakit dirinya. Kita, aku rasa hanya hidup dalam kepura-puraan, pura-pura baik, pura-pura tersenyum, pura-pura memaafkan karena sebenarnya di dalam diri kita, sudah terpupuk rasa benci terhadap yang lainnya.
Masih belum sadarkah kita, bahwa sebaik apapun sebuah hubungan suatu saat pasti akan sakit. Dan sakit itu tidak akan pernah terobati, dan sakit itu akan selalu membuat guratan memori yang membuat gundukan bekas yang kokoh yang tak akan pernah hilang meskin dihapus oleh topan,
Jumat, 26 April 2013
Sh*t Sahabat
Sahabat.
Banyak orang mengagung-agungkan sahabat. Sahabat bagaikan bla bla bla bla. Tanpa sahabat hidup akan menjadi bla bla bla bla bla. Pilih Cinta atau Sahabat, semua memilih sahabat. Sahabat adalah orang yang paling mengerti akan diri kita bla bla bla bla. Sahabat dalam kesempurnan lirik lagu bla bla bla bla
Dengan menulis ini, mungkin orang akan menganggap saya sebagai orang yang pesimitis. Tapi saya punya pandangan lain soal sahabat.
Pernahkah kau melihat diri anda sendiri, pernahkah Anda mengevaluasi diri Anda sendiri. Pernahkah Anda mengingat betapa seringnya Anda menjelek-jelekkan 'sahabat' Anda ketika ia sedang pergi menjauh dari kerumunan Anda. Pernahkah Anda mengingat betapa seringnya Anda membocorkan rahasia 'Sahabat' Anda, padahal Anda telah berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun.
Saya mengakui, saya tidak pernah menyebutkan salah seorang pun sebagai sahabat saya. Benar, saya memang tidak punya sahabat. Saya mengamati banyak orang membicarakan aib temannya sendiri 'kepada saya' atau kepada orang lain. Itu membuat saya berpikir, orang yang saya anggap sahabat juga akan melakukan hal yang sama dibelakang saya.
Saya rasa itu memang sifat alami manusia, sulit mengendalikan diri sendiri, termasuk diri saya sendiri. Manusia itu naif, seringkali tidak berani mengungkapkan secara 'face to face' kepada seseorang yang mengganjal pikirannya, termasuk saya. Manusia akan mencari orang lain untuk mendengarkan rasa gondoknya terhadap seseorang. Dengan kata lain, dia akan mencari pengikut, orang yang mempunyai kegondokkan yang sama, lalu mengintimidasi yang lain. Tidak pernah mau untuk duduk bertemu, lalu membicarakan permasalahannya. Hal ini akan terjadi baik itu sahabatmu atau bukan. Karena itu aku tidak percaya pada yang namanya Sahabat. Sahabat itu juga manusia, manusia itu baik kalau ada maunya, kalau tidak ada maunya ya seenaknya sendiri, dan saya yakin itu juga bagian dari diri saya.
Saran saya hanya satu, be realistic. You cannot trust another human except your parent.. ! Sahabat atau apalah namanya itu bukan orang yang akan menjaga aib mu sampai mati.
This is my opinion. What's yours?
Mungkin, Aku memanglah Keset
Aku anak perantauan. Aku hidup dan tinggal di Kalimantaap tidak bisa menn. Sebenarnya aku bukan anak Kalimantan asli. Aku lahir di Pati, di desa kecil, bagian dari Jawa Tengah. Tapi sekarang aku sedang menempuh pendidikan di luar Kalimantan. Provinsi besar katanya, Jawa.
Aku masih anak baru disini. Sekarang aku masih anak semester dua. Selama, dua semester ini aku belum pernah pulang. Mereka (orang Jawa) bilang rumahku sangat jauh. Iya, bagi ku rumahku sangat jauh karena aku harus menempuh perjalanan satu hari satu malam di dalam kapal untuk bisa pulang. Tapi untuk beberapa temanku (yang sama-sama perantauan), mereka selalu tidak terima kalau
ada yang bilang Kalimantan itu jauh. Mereka merasa terhina, karena dianggap orang pedalaman. Bagi mereka Kalimantan itu memang dekat karena hanya perlu 45 menit untuk naik pesawat ke bandara tempat kota kami tinggal. Hal itulah yang membuat presepsi kami tentang jarak Kalimantan ke Jawa itu berbeda. Semua hanya berpusat pada Uang. Uang membuat semua hal dapat diliha dari berbagai macam prespektif. Karena itulah aku selalu bermimpi untuk memiliki uang. Banyak orang seakan menjadi raja dengan uang. Merendahkan orang lain, membentak orang lain, mengatur orang lain dengan mudahnya karena memiliki uang. Aku sering melihat Ibuku direndahkan orang lain, tidak dihargai orang lain. Aku hanya ingin mengembalikan derajat Ibuku ke tempat paling nyaman tanpa suara melengking manusia manusia sombong itu. Aku ingin itu, aku ingin membungkang mulut mereka dengan hal yang paling mereka banggakan. Aku ingin menyandung mereka dengan hal yang selalu mereka pamerkan. Aku ingin, sangat ingin.
Tapi aku seperti tidak pernah punya kesempatan untuk melakukan hal itu. Aku hanya sama seperti Ibuku, hanya seperti keset yang selalu dihina. Tanpa adanya perubahan, keinginan ini hanya menjadi dendam yang tak pernah terwujud. Aku tetap menjadi keset, keset yang lembut, yang nyaman untuk diinjak injak.
Langganan:
Postingan (Atom)