Rabu, 23 Oktober 2013

Payahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!!

Hadehh.. kapan aku bisa nulis cerita bahagia di blog ini. Yang ada cuma kebodohanku, ketidakbersyukuranku, kesedihanku, isinya hanya berputar putar pada hal itu saja. Tidak ada yang membuat aku tersenyum kalau aku membaca kembali isi isi di blog ini. Dan saat ini pun aku sedang mengeluh. Sial/
Hari ini praktikum Kimia Analitik Dasar, dan pada praktikum ini aku benar-benar menemukan kepayahanku, praktikumku hanya dapat 61. Dasar bodoh bodoh bodoh bodohh.. rasanya aku muak dengan semua praktikum praktikum ini.. karena selalu aku yang menyebabkan banyak kesalahan dalam praktikum, dan membuat teman teman sekelompokku nilainya jadi ikut rendah. dasar payahhhhhhh!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Rabu, 16 Oktober 2013

Aku Memang Bukan Apa-Apa


      Sedih, sedih yang tak terdefinisi, hanya terasa begitu sakit, mungkin hanya mata yang mampu mengekspresikannya. Air mata ini jatuh dengan sendirinya, padahal aku tengah tertawa. Karena semuanya hanya kepura-puraan. Senyum ini, kebahagiaan ini, binar ini hanya sebuah tipuan, aku sakit, sungguh sakit dada ini sesak dan pikiran ini terus menghantam dengan berbagai pertanyaan keputusasaan. Setiap kaliamat, setiap cerita yang membuatnya gembira, terasa semakin menusuk bagiku.
      Apa yang salah? Kenapa? Aku harus bagaimana? Rasanya aku sudah berusaha yang terbaik, lalu apa lagi?Rasanya aku ingin menangis kencang dihadapan Tuhan, kenapa aku hanya selalu menjadi penonton, penonton kebahagiaan orang lain. Kenapa kesenanganku selalu dirampas orang lain. Bisakah aku merasakannya lebih lama lagi? Bisakah lebih lama lagi aku dibuat tersipu malu? Bisakah lebih lama lagi aku tak bisa jauh dari ponselku? Bisakah lebih lama lagi ponselku terus berdering? Bisakah? Aku ingin seperti mereka, yang merasakan senangnya terjatuh. Aku juga ingin merasakan betapa gugupnya ketika dia datang. Aku juga ingin merasakan bagaimana akrabnya sebuah obrolan yang tanpa henti. Aku ingin, sungguh sangat ingin. Kapan aku bisa merasakan itu? Kenapa selalu orang-orang disekitarku yang selalu mendapatkannya? bahkan mendapatkan apa yang paling aku dambakan.
      Aku baru mengerti rasanya sakit yang tertutupi senyum. Ketika aku hanya dibawa terbang perlahan, tidak tinggi dan tidak indah pemandangannya namun dia memegang tanganku, terasa seperti menjagaku, seperti melindungiku, Aku sangat bahagia meski tak memandang wajahmu, meski hanya merasakan genggaman tanganmu, Aku sudah sangat senang. Begini saja, aku ingin seperti ini saja berlansung lebih lama, hanya lebih lama tidak ada yang lain. Namun semua selalu berakhir sama, akhirnya aku selalu terbang sendiri tanpa pegangan. Dia pergi, terbang lebih tinggi, lebih jauh, bersama yang lain, bersama orang yang paling dekat denganku. Rasanya sangat menyakitkan melihatmu pergi bersamanya, dengan senyummu yang tak lepas dari wajahnya. Aku pun tak sanggup berada di belakang kalian, aku berhenti dan memilih terjatuh saja. Seringkali aku bertanya, aku ini siapa? Kenaa dia memperlakukan aku seperti ini? Jangan datang ketika kamu hanya singgah, karena kamu membuatku bahagia dan sakit di waktu yang bersamaan. Bahkan, aku harus berpura-pura senang ketika orang terdekatku bercerita tentang dirimu. Sakitnya sungguh bertubi-tubi. 
Hingga saat ini aku meyakini akan ada seseorang yang disiapkan untukku, orang yang bisa terus menggenggam tanganku dan tak berhenti tersenyum pada semua kelemahanku, namun aku mulai goyah akan kepercayaan itu. Aku ini siapa? Aku punya apa untuk mendambakan hal seperti itu? Aku tidak akan pernah dapatkan kebahagiaan seperti itu. Namun mulai saat ini aku tidak yakin lagi!!

Senin, 14 Oktober 2013

Taylor Swift – Never Grow Up

You’re little hands wrapped around my finger
And, it’s so quiet in the world tonight
You’re little eyelids flutter cause you’re dreaming
So, I took you in
Turn on your favorite night light
To you, everything’s funny
You got nothing to regret
I’d give all I had, honey
If you could stay like that
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
Just stay this little
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
It can stay this simple
I won’t let nobody hurt you, won’t let no one break your heart
And no one will desert you
Just try to never grow up, and never grow up
You’re in the car on the way to the movies
And, you’re mortified
You’re mom’s dropping you off
At, fourteen there’s just so much you can’t do
And you can’t wait to move out someday and call your own shots
But, don’t make her drop you off around the block
Remember that she’s getting older too
And don’t lose the way that you dance around in your PJ’s getting ready for school
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
Just stay this little
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
It can stay this simple
And no one’s ever burned you
Nothing’s ever left you scarred
And even though you want to
Just try to never grow up
Take pictures in your mind of your childhood room
Memorize what it sounded like when your dad get’s home
Remember the footsteps, remember the words said
And all you’re little brothers favorite songs
I just realized everything I had is someday gonna be gone
So, here I am in my new apartment
In a big city, they just dropped me off
It’s so much colder than I thought it would be
So, I tucked myself in and turned my night light on
Wish I’d never grown up
I wish I’d never grown up
Oh, I don’t wanna grow up
Wish I’d never grown up
Could still be little
Oh, I don’t wanna grow up
Wish I’d never grown up
It could still be simple
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
Just stay this little
Oh, darling don’t you ever grow up
Don’t you ever grow up
It can stay this simple
I won’t let nobody hurt you
Won’t let no one break your heart
And even you want to
Please, try to never grow up
Oh, whoa
Don’t you ever grow up
Oh, whoa
Never grow up
Just never grow up

SUKA BANGET SAMA LAGU INI..! 


Kamis, 26 September 2013



Bukan Aku Lagi


Bima mulai mengurangi kecepatan motornya, itu berarti rumahku tidak jauh lagi. Aku yang sedari tadi berlindung di balik punggung Bima, tak ingin melawan pukulan dingin angin malam, perlahan ku tegakkan  kepala dan punggungku. Kedua tanganku yang melingkar erat di pinggang Bima pun aku longgarkan. Udara malam yang lembab terhirup hidung dalam-dalam, aku menyebarkan pandangan ke jalanan yang sepi. Pandanganku lalu segera tertuju pada sebuah siluet di depan sana. Siluet seorang pria tengah terduduk lesu bersandar pada pintu gerbang rumahku, berteduh di bawah lampu jalan. Pelan, motor Bima mendekati pintu gerbang rumahku, semakin jelas lekuk-lekuk tubuhnya. Deru gemuruh suara motor Bima berhasil memanggilnya untuk menoleh. Pria itu lalu berdiri dari tempatnya, menyambut kedatangan kami, kini wajahnya tak lagi tertutup gelapnya malam namun berganti tersorot sinar lampu motor Bima, di wajahnya jelas terlihat kedua matanya menyipit karena silau.
“Arya,” gumamku dari atas motor. Sudah seminggu, sejak pertengkaran di pesta itu, Arya tak menghubungiku sama sekali. Aku begitu lega melihat sosoknya lagi. Aku segera turun begitu Bima menghentikan motornya, cepat menghampiri Arya. “Arya, aku minta maaf. Jangan tinggalin aku. Aku masih sayang sama kamu, hanya saja aku nggak betah dengan sikap posesifmu,” uraiku penuh dengan jeda. Namun, Arya tak mengindahkanku, ia justru berjalan melewatiku, menghampiri Bima yang berdiri di dekat motor.
BUKKK.
Belum sempat Bima bersiap mempertahankan diri. Kepalan tangan Arya mendarat mulus di pipi Bima. Arya menarik kerah Bima, menghantamkan pukulannya pada wajah Bima beberapa kali. Puas. Arya pun melepaskan kerah Bima, membiarkannya tersungkur. Arya membiarkan Bima bangkit berdiri lagi. Kembali Arya melayangkan kepalan jarinya, namun Bima telah bersiap, ia dapat menghindar. Arya yang lengah, membuat Bima memiliki kesempatan untuk menghantamkan pukulan ke perutnya berkali-kali. Arya pun jatuh terjerembab. Susah payah, Arya berdiri lagi dan mengayunkan tinjunya. Namun sekali lagi Bima dapat menghindar, ditahannya tubuh Arya, lutut Bima yang menukik, menghantam perut Arya. Arya jatuh lagi dengan posisi dada menghempas aspal. Belum puas, Bima kembali menendang tubuh Arya hingga terguling-guling. Setiap kali Arya bangkit berdiri, pukulan menghampirinya. Bima tak merasa getir melihat ketidakberdayaan Arya. Sekali lagi Bima perlahan menghampiri Arya yang tergeletak, kembali diayunkan kaki kanannya. Namun, justru kini Bima yang terjungkal ke aspal. Belum sempat kaki Bima menendangnya, Arya menahan kaki kanan Bima terlebih dahulu hingga Bima kehilangan keseimbangan dan jatuh. Seperti telah hilang rasa sakitnya, Arya menduduki tubuh Bima, menahan kedua lengan Bima dengan lututnya dan mengumpulkan semua kekuatan pada tangan kanannya. Wajah Bima kini sama halnya dengan wajah Arya, berlumuran darah di segala penjuru, bibir, hidung, dan pelipis.
Aku menangis ketakutan melihat mereka berdua berkelahi. Berkali-kali aku berteriak untuk berhenti, namun tak ada yang mendengarkan. Aku hanya diam di tempat, menangis, berteriak, tak sanggup mendekat. “Berhenti Arya! Berhenti! Aku takut sama kamu!! Berhenti Ar!!” jeritku tak karuan. Pijakanku terasa lemas, tak sanggup menopang tubuhku yang gemetar, aku luruh terduduk. “Sudah Ar.. sudah..! Aku takut, Ar..! Aku takut.. ” suaraku lirih.
Arya berhenti memukul, berdiri perlahan, ia melangkah mundur dengan tubuh terhuyung-huyung, menjauhkan diri dari tubuh Bima, mengatur nafasnya yang terengah-engah. Sementara Bima memegang perutnya, merintih, menahan sakit. Aku sendiri masih terisak-isak, aku memandangi Arya. Arya lalu menatapku tanpa reaksi lebih sekedar memandangi saja, menatap dalam-dalam. Tak lama ia membalikkan badan, membelakangiku dan Bima yang masih tergeletak di aspal. Hening. Arya mendongakkan kepalanya ke langit seperti kebiasaannya. Setiap kali ia merasa bingung, ia mengadu pada langit malam, mencoba merasukkan malam pada dirinya, membuatnya tenang kembali. Aku menatap lekuk punggungnya yang masih turun naik dengan cepat, tubuh itu kini penuh keringat, luka dan darah. “Gue turutin permintaan lu,” ucap Arya tiba-tiba. Ia berjalan dengan terpicang-pincang, menjauh dariku, semakin lama semakin hilang seolah malam mengantarkannya pulang. Aku terlalu sibuk menangis, lidahku kelu, bahkan tak sanggup hanya untuk mencegahnya pergi lagi.

****

Hari semakin sore namun matahari senja tak dapat memamerkan sinar emasnya karena hitam menutupi langit. Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air ke bumi, menandakan besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut terhanyut olehnya. Tetes hujan yang jatuh memainkan alunan nada rindunya sendiri, terasa begitu sendu namun justru melegakan. Pada deretan tiga jendela, aku duduk bersila di jendela paling kanan, kedua telapak tanganku menyangga dagu, menopang kepalaku. Rintik-rintik nakal menerpa kaca jendela dihadapanku, bening, kecil dan banyak, mencoba menerobos, ingin menyentuhku. Ingin menghapus rinduku juga.
Tiga bulan sudah Arya menghilang sejak kejadian malam itu, tak ada kabar, seperti hilang ditelan malam. Setiap kali ingat ucapan Arya malam itu, untuk menuruti permintaanku, aku marah. Aku hanya memintanya jangan bersikap posesif, bukan pergi. Aku mengutuknya karena salah mencerna ucapanku. Meski, sesungguhnya aku pun merasa bersalah. Keadaan memang berubah drastis sejak saat itu.

****

Cafe tempat biasa aku dan Arya makan bersama menambahkan fasilitas baru live music. Lagu Beyonce “When You Believe” mengalun merdu memenuhi sudut ruanagan. Arya duduk membelakangi posisi tempat para pemain band itu tampil sehingga ia tidak begitu memperhatikan, atau lebih tepatnya tidak memperdulikan.
“Wah lihat, ada live musiknya sekarang!” ucapku kagum.
“Nggak pengen lihat, pengen lihat kamu aja,” jawab Arya santai.
Aku menyimpitkan mata, tersenyum simpul. Ucapan sederhana itu masih mampu membuatku tersipu malu meski sudah dua tahun, kami berpacaran. Meski sudah dua tahun, aku masih sering didera rasa cemburu oleh cewek-cewek yang datang menggodanya. Bagaimana tidak, Arya itu seperti makhluk perfect, maniak olahraga, jago musik, wajahnya mirip Mario Maurer, apalagi dengan lesung pipitnya yang manis yang terbentuk tiap kali ia tersenyum, melelehkan hati kaum hawa. Ia sudah kuliah semester lima, sementara aku masih menjadi anak paling senior di SMA. Namun, dengan semua keperfect-annya, dia tidak pernah selingkuh dan juga tak merasa risih dengan statusku yang masih SMA, ia justru sangat dewasa dalam membimbing dan menghadapi sifat kekanak-kanakkanku. Itulah yang membuatnya menjadi Aryaku yang sempurna. Aku akan butuh waktu sangat lama untuk move on kalau harus putus dengan Arya.
Tak lama setelah lagu berakhir, seorang pria sudah berada di samping meja makan kami. Pria ini gayanya seperti Arya, anak kuliahan, kulitnya bersih, kaos biru gelap dan celana jeans hitam membalut tubuhnya yang tinggi gagah, bentuk wajah yang oval membuatnya memiliki ketampanan yang terselubung, sayang air mukanya terlihat suram, matanya memancarkan kemarahan. Aku pikir ia tertarik oleh kecantikanku, ternyata ia justru memandang Arya sambil tersenyum sinis, tatapannya dalam seperti mengatakan sesuatu yang hanya dimengerti olehnya dan Arya. Benar saja, kedatangan pria ini membuat Arya terperangah, seperti tengah melihat sesosok hantu.
Pria itu megalihkan pandangannya padaku sesaat, lalu mengambil ponselku yang ada diatas meja, mengetik sesuatu, menaruhnya kembali di atas meja. Pria itu kembali menatapku yang tengah melongo. “Gue udah nge-save nomor gue, nanti gue hubungin lu. Atau lu bisa datang kesini aja, gue selalu tampil disini,” ucapnya dingin dan galak. Gila, ini cowok deketin cewek orang di depan pacarnya si cewek langsung, nggak pakai basa-basi. Baru selangkah pria ini hendak pergi dari meja kami, ia berbalik, menatapku lagi. “Tenang aja, gue temen lama Arya,” sembari tersenyum kecil dan menepuk pundak Arya. Berbalik dan berlalu pergi, kembali ke tempat para pemain band berkumpul.

****

Arya bukanlah Arya sejak malam itu. Arya berubah menjadi sangat-sangat-sangat posesif. Malam setelah kejadian itu, Arya berkali-kali menelponku hanya untuk menanyakan hal yang sama, “Apa cowok itu ngehubungin kamu?” Dan setiap kali ditanya kenapa dia begitu panik, jawabannya selalu sama, “Nggak apa-apa.” Padahal cowok itu juga sebenarnya tidak menghubungiku sama sekali. Entahlah, sejak saat itu Arya selalu ketakutan dan gelisah. Dia selalu mengantar jemputku ke sekolah, ke tempat les, entah dari mana dia punya waktu untuk kegiatan antar-jemput ini, bagaimana dengan kuliahnya sepertinya ia tidak peduli. Dia bahkan berubah menjadi sangat cerewet dibanding mamaku sendiri, kalau nggak jawab telpon atau nggak balas sms secepatnya, Arya bisa tiba-tiba nongol depan rumah atau ponselku isinya misscall-an dia semua.
Pada satu titik, aku sudah benar-benar muak dengan jawaban, nggak apa-apa, gue cuma khawatir aja. Klise. “That’s enough! Gue nggak mau lagi kayak gini! Pokoknya harus cerita, apa yang bikin Arya-ku berubah kayak gini! Penjelasan sekarang! atau we break up!” ancamku dongkol.
Arya terdiam. Ia menunduk membuang nafas lewat mulut. Sepertinya Arya masih mempertimbangkan bagaimana cara mengungkapkannya. Ia menghela nafas panjang. “Cowok yang waktu itu namanya Bima. Dulu gue pernah nyakitin dia. Gue pernah ngambil orang yang paling dia cintai. Tetapi setelah itu gue ninggalin orang yang paling dicintai Bima karena sebuah alasan. Gue nggak tahu kabarnya lagi sejak itu, tetapi sejak itu gue tahu Bima sangat membenci gue. Dan gue takut kamu jadi pelampiasan kemarahannya. Jadi gue mohon jangan pernah dekat sama dia,” Arya mengakhiri ceritanya dengan sebuah permintaan yang tidak bisa aku tepati.
Aku tak bisa lagi menahan pikiranku, aku mendatangi cafe tempat Bima manggung, duduk sendiri melihatnya sedang bermain gitar. Tanpa aku panggil, Bima datang sendiri menghampiriku. Ia duduk dan melipat tangan di depan dadanya menatapku sesaat lalu berpaling lagi, “Jadi, Arya cerita apa ke lu?” Aku cukup terkejut dengan lontaran pertanyaan Bima tetapi aku tak mau ambil pusing, aku tak perlu lagi repot basa-basi hal yang tak penting. Aku mengulang apa yang telah diceritakan Arya padaku, kecuali bagian yang tak boleh dekat-dekat dengannya. Aku memintanya untuk memaafkan Arya. Arya pernah jahat, tapi kini tidak lagi. Ia pantas mendapatkan maaf. Bima tak memandangku, ia hanya diam memandangi objek lain selain aku, sikapnya sungguh dingin.
“Oke”, jawab Bima singkat, masih tanpa memandangku. Aku tersenyum bangga. Ternyata ini mudah saja.
Bima mengubah posisi duduknya, tubuh dan bola matanya tepat menghadapku,  tak lagi melipat tangan di dadanya, ia menaruh kedua tanganya di atas meja. Membuat kepercayaan diriku tiba-tiba luntur mendadak, aku gugup. Buruk ini buruk.
“Gue bakalin maafin Arya tapi dengan syarat, lu harus bantuin gue nyariin seseorang sebagai ganti orang yang diambil Arya, gimana?” tantang Bima seraya tersimpul senyum licik di bibirnya. Aku menghela nafas panjang, ini memang tidak mudah.

****

“Hai mbak, boleh minta pin BB-nya nggak?” pintaku dengan senyum menyeringai.
“Enak aja, gue normal tau!” maki si cewek di tengah keramaian. Si cewek pergi begitu saja meninggalkanku, sesekali ia menoleh ke belakang, memasang wajah jijik terhadapku. Aku hanya bisa menunduk malu serasa tengah ditelanjangi di depan umum. Aku menyumpah dalam hati. Sial.
“Ini semua gara-gara lu, Bang!” cecarku pada Bima yang justru cekakakan hingga sakit perut. Beberapa detik, ia terdiam lalu kembali terbahak-bahak, kalau nggak ingat ini tempat umum mungkin sekarang dia sudah guling-gulingan di lantai. Ia sama sekali tidak peduli dengan perasaanku yang berusaha mati-matian mengenalkannya dengan cewek-cewek idaman lelaki. Sudah berminggu-minggu, aku menghabiskan waktu dengannya ke tempat orang ‘kece’ banyak berkumpul, namun hasilnya selalu nihil. Seharusnya ini menjadi pekerjaan mudah karena tampang, body, skill, money, semuanya mendukung seratus persen. Masalahnya terdapat pada sikap Bima. Ia sama sekali tak berusaha mendekati cewek-cewek itu, justru ia selalu mengabaikan cewek-cewek yang bertingkah aneh untuk mencuri pandangannya. Setiap kali aku bertanya seperti apa sebenarnya tipe wanita yang diinginkan, ia justru balik menyuruhku menanyakannya pada Arya. Ini orang ngajak berantem banget. 
Padahal untuk bisa keluar bersama Bima, aku harus mengatasi ke-posesif-an dadakan Arya terlebih dahulu. Posesif memang akan membawa dampak buruk, ia justru membuatku pandai dalam merangkai kebohongan. Tetapi tetap saja, sejak aku sering keluar dengan Bima, setiap malamku, akhir dari sikap posesifnya, selalu ia akhiri dengan short message yang sama yang membuatku geram.
Hari ini kemana? Kamu ketemu sama Bima?
From : My Arya
Geram karena apa yang dituduhkannya padaku adalah benar. Namun aku selalu berkilah sendiri dari rasa bersalahku. Aku memang berbohong tetapi bukan berniat untuk selingkuh melainkan berusaha menghapus rasa takutnya.
Dibalik perbudakkan Bima padaku, aku telah melewati pertemuan demi pertemuan dengan Bima. Hal ini justru membuat kami semakin akrab. Bahkan tak jarang kami menghabiskan waktu berdua saja, lupa dengan tujuan utamaku, sekedar makan bersama, saling bercanda ataupun bercerita segelintir masalah hidup. Aku mengubah pikiranku tentangnya, Bima tidak sedingin yang aku bayangkan. Dia sebenarnya orang yang baik dan sangat perhatian.
“Lecek banget muka lu,” mengejekku seakan tanpa dosa. “Udah, nggak usah diinget lagi omongan cewek songong yang tadi. Nih, gue ada sesuatu buat lu,” seraya mendorong sekotak besar kado merah yang terhias pita putih berbentuk mawar di tengahnya di.
“Apa-an nih?” tanyaku curiga.
“Buka aja,” jawabnya sederhana. Bima memainkan bola matanya, mengejekku.
Segera saja aku buka tutup kado itu, mataku memandang ke dalam isi kado, bibirku membulat, wajahku sumringah, sesekali aku arahkan bola mataku yang berbinar-binar pada Bima sebagai ganti ucapan terima kasih. “Nanti malam, gue jemput lu. Kita ke pestanya temen gue. Gue udah kenalan sama seseorang, nanti malam gue juga mau ketemuan sama dia di pesta itu. Gue mau kenalin dia ke lu, sekalian gue minta pendapat lu,” jelas Bima sambil sesekali menyeruput cappucino hangat pesanannya. Aku mengganguk pasti, tak ingat lagi dengan adegan memalukan tadi. Ternyata Bima ada niatan juga nyari cewek dan masalah ini bisa selesai secepatnya.
Malam ini Bima menjemputku dengan mobil bukan dengan motor gede-nya, mungkin ia sadar kalau hari ini dia pakai jas dan aku pakai gaun sehingga akan meribetkan kalau harus naik motor. Bima mengulurkan tangannya begitu membuka pintu mobil. Aku meraihnya seraya berdiri keluar dari mobil. Ia tersenyum ke arahku, manis sekali. ”Cantik,” katanya. Gaun yang diberikan Bima padaku memang cantik, gaun putih selutut, memperlihatkan bahuku, detail lekukan-lekukan kecil di bagian rok membentuk pola yang rapi, dengan desain bertempuk dua kain di bagian dada membuat gaun ini simple namun menawan. Aku melingkarkan tangan kananku pada tangan kiri Bima,“Yakin gebetan lu nggak bakal jelous sama gue, Bang?” Bima nyengir tanpa menjawab, terus berjalan menggiringku ke arah pintu masuk sebuah rumah yang cukup besar dan sepertinya di dalam sudah ramai oleh tamu, di teras banyak cowok-cowok saling bercengkrama. Kebanyakan dari mereka tersenyum manis ke arahku, membuatku tersanjung. 
Baru saja aku hendak melangkah melewati pintu besar. Lengan kiriku tiba-tiba saja ditahan oleh seseorang, sontak aku menoleh. “Arya?” aku tercekat kaget. Tanpa basa-basi, segera menarikku menjauh dari rumah itu, berjalan sangat cepat, ia tak peduli aku tergopoh-gopoh mengikuti langkah besarnya,. Jari-jarinya sangat kuat memegang pergelangan tanganku, ia terlihat sangat marah. Ia terus menarikku hingga ke jalanan. “Arya sakit! Tanganku sakit,” keluhku tak kuat lagi. Ia pun menghentikan langkah cepatnya, membanting lenganku.
“Aku kan udah bilang jangan ketemu sama dia! Dia itu mau nyakitin kamu. Selama ini, aku biarin kamu jalan sama dia, tapi ini udah keterlaluan!” maki Arya kalap.
“Aku cuma mau bantuin kamu, Ar!” aku membela diri meski rasa bersalah itu ada.
“Bantuin apa? Kamu itu cuma mempermudah dia nyakitin aku. Kenapa sih kamu nggak bisa gunain sedikit otakmu buat melihat situasi kayak gini!”
“Iya. Aku memang nggak bisa apa-apa. Apapun yang aku lakuin semuanya salah. Aku memang bodoh. Asal kamu inget, Bima bisa marah seperti itu juga karena dosa yang kamu buat sendiri,” aku berteriak tak terima.
“Kamu harusnya nggak usah masuk dalam masalahku!”
“Aku cewek kamu. Aku nggak pengen liat kamu ketakutan lagi! Aku bosan dengan sikap posesif kamu!”
“Aku kayak gitu juga karena aku pengen melindungi kamu!” bentak Arya makin keras.
“Melindungi dari apa? Bima baik sama aku, nggak biarin aku lecet sedikit pun! Asal kamu tau, Bima mulai melupakan kesalahan kamu,” sahutku tak kalah keras
“Itu bohong! Kamu nggak akan ngerti!! Please, kamu harus percaya denganku.”
“Jelasin apa yang nggak aku ngerti! Jelasin bagian mana aku harus percaya kamu!”
Diam. Arya tak lagi menjawab, ia menundukkan kepala. “Gue nggak bisa,” desahnya.
Aku mengatur nafasku, menghapus air mataku sudah menetes sejak tadi. “Kalau begitu berhenti mengatur hidupku, berhenti melarangku, berhenti mengekangku. Aku punya hidupku sendiri yang ingin aku jalani, sama halnya dengan hidupmu yang tak ingin kamu bagi denganku. Ada hal yang ingin aku lakukan sendiri.” aku mati-matian menahan tangis kedua pipiku sudah membasah. Aku tak menunggu jawaban Arya, aku pergi, meninggalkan Arya yang masih diam tertunduk pasrah.

****

 “Hoi!”
Aku terhenyak kaget oleh suara teriakan barusan, terbangun dari lamunanku. Sontak kupandangi siapa yang mengejutkanku. Lagi-lagi Bima, bukan Arya. Kukira aku sungguh terjebak dalam lamunan, karena sama sekali tak mendengar deru suara motor Bima yang bergemuruh. Aku juga tidak mendengar suara bell pintu dibunyikan. Biarlah, toh juga cuma Bima. Aku kembali menidurkan malas kepalaku di bagian bawah jendela, berbantalkan kedua telapak tanganku yang bertumpuk, tidak peduli dengan kehadiran Bima. Aku menatap langit. Baru tersadar pula, tak ada lagi titik air menjatuhi permukaan tanah. Hujan sudah reda. Basah dan lembab. Menyisakan banyak bulir-bulir air kecil pada permukaan luar kaca jendela. Bima ikut duduk bersila di sebelahku, menatap luar, diam dan tenang, memasang wajah coolnya seperti biasa. Sesekali Bima bersuara, menggodaku, menanyakan keberadaan orang tuaku dan pembokatku yang tidak terlihat berseliweran dimana-mana. Orang tuaku sejak tadi pergi ke acara pesta perusahaan, paling-paling pulangnya larut malam, sementara Mbok Ning, nggak tau pergi kemana.
“Keluar yuk,” ajak Bima seperti biasa.
“Males,” jawabku singkat.
“Gue dari kemarin ngeliat Arya di sekitar rumah temen gue. Gue mau ngajak lu kesana kalau lu mau,” urai Bima setelah memberi waktu jeda membalas ucapanku.
Tubuhku menegak, pandanganku terkunci pada manusia di sampingku, menatap Bima lekat-lekat seolah tidak percaya. Bima hanya mengerutkan keningnya, memutar bola matanya, lalu menaikan pundaknya, ”Yah, siapa tahu,” ucapnya ringan.
Aku bangkit dari tempat dudukku. “Bang, lu tunggu di sini, gue ganti baju dulu.” Tanpa menunggu jawaban, aku segera berlari menaiki tangga ke lantai dua menuju kamarku, aku sungguh tak ingin membuang waktu. Aku meraih celana jeansku dan jaket yang menggantung di lemari pakaian terburu-buru. Baru saja aku hendak mengganti celana pendekku, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sudah ada Bima berdiri tegap di depan pintuku, ia menutup pintu kamarku lalu berbalik menatapku tajam. Aku mundur selangkah, reflek. Degup jantungku mulai beradu cepat, seluruh tubuhku gemetar. Mata teduh itu kini berubah mengerikan. “Lu mau apa, Bang?” Tidak ada jawaban, yang ada hanya langkah kaki mantap Bima menuju ke arahku, sementara aku hanya mampu mundur dengan langkah tak pasti. Baru saja mulutku terbuka, hendak berteriak minta tolong. Sekian detik saja, Bima sudah berada di hadapanku dan mendorongku, membungkam kencang mulutku hingga aku memundur dan baru terhenti ketika telah membentur dinding, ia mengurung tubuhku melekat pada dinding, aku meronta. Bola mataku berputar panik menatap Bima. Bima tersenyum tipis padaku, menggeleng pelan, memberiku isyarat untuk diam. Aku langsung mengangguk diikuti ketenangan tubuhku. Perlahan dilepaskan bekapan tangannya dari mulutku. Ia menatapku waspada, takut kalau aku tak menurutinya. Ia tersenyum lagi, setelah yakin aku tak akan berteriak, aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Menyembunyikan tangis. Bima lalu memelukku, mengusap-usap rambutku. Masih dengan wajah tertutup kedua tangan, aku terbenam di dada bidang Bima. Pasrah tak berdaya. Ia memperketat pelukannya padaku. Hembusan nafas sesegukkanku yang tak terkendali menerpa dadannya, membuatnya merasakan ketakutanku. Ia mengusap-usap pungunggku. “Jangan nangis dong,” bisikknya. Meski aku masih tak bisa menghentikan isakanku namun suasana jadi terasa sunyi. Sunyi yang mencekam dan menimbulkan ketakutan. Untuk beberapa lama kami hanya berpelukan saja. Namun bayangan mengerikan terus bermunculan memenuhi benakku. Tidak. Tidak boleh.
 “Seharusnya lu dengerin apa yang Arya omongin. Gue itu sama sekali nggak baik, lu malah nyerahin diri lu sama gue. Gue itu tipikal orang yang nggak bakal berhenti, sebelum gue mendapatkan apa yang gue mau. Dan Arya tau itu, makanya dia mati-matian menjauhin lu dari gue. Tapi lu malah datang sendiri ke gue,” tuturnya diakhiri dengan tawa. “Kenapa lu masih mikirin dia? Arya kan udah ninggalin lu. Kenapa lu nggak lupain dia aja. Dengan begitu semuanya pasti akan lebih baik.” Bima meracau, membuat tubuhku menegang. Bima mengambil nafas panjang,“Seharusnya lu nggak jadi ceweknya Arya.”
Kalimat-kalimat yang mengalir dari mulut Bima, berkali-kali membuatku menelan ludah, bergidik merinding. “Kenapa Arya suka sama lu, ya?” tanya Bima kemudian. “Menurut gue, lu biasa aja,” sambungnya. Tentu saja aku tidak bisa protes atas ucapannya. Ia merenggangkan pelukannya, membuat jarak antara tubuhnya dan tubuhku namun tak melepaskan genggaman tangannya dariku. Aku menatapnya dengan mata nanar, memelas belas kasihan. Namun, bola mata Bima justru menjelajahi tubuhku. Bima tersenyum tipis, dibungkukkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar denganku, “Gue pengen nikmatin tubuh lu dulu. Senikmat apa sih lu sampai Arya mau sama elu!”
Aku tercekat. Jantungku terasa berhenti mendengar kalimat barusan. Sesal memenuhi dadaku. Aku merasa sangat bodoh, tak menuruti Arya. Kembali aku memberontak liar, memukuli dadanya, berusaha melepaskan diri dari di dekapannya, menangis sejadi-jadinya. “Lepasin gue, Bim! Lepasin gue! Gue mohon, Bang.” Namun Bima sama sekali tak tersentuh ibanya. Pemberontakanku pun tak membuat Bima bergeming, ia justru semakin memperketat pelukannya. “Lepasin gue.. lepasin gue..,” tangisku tak ada henti. Kini Bima mulai mencium bibir, leher, bahu dan dadaku yang terlihat karena kerah bajuku yang melebar ke satu sisi, memperlihatkan tali breast-holderku, penuh nafsu. Aku menggeliat, menghindar semampuku, tak bisa berbuat banyak karena tubuhku terjebak antara dinding dan Bima. Mati sudah.
“Bangsat lu, Bim!” teriak Arya yang tiba-tiba dari belakang. Ia menarik Bima dariku, menghempaskannya ke lantai. Arya tertegun melihatku pucat pasi, basah oleh keringat dan tangis, aku menangis, menggigil ketakutan. Arya memegang tubuhku yang meluruh jatuh. Aku terduduk lemas bersandar pada dinding, aku begitu shock. “Maafin gue,” gumam Arya lirih. Aku sadar, aku melihat sebutir air jatuh menetes dengan cepat tak meninggalkan bekas. Arya meninggalkanku sendiri, ia beralih menghampiri Bima yang tergeletak di lantai. Bima sebenarnya bisa bangkit berdiri untuk kabur atau berbalik memukul Arya sejak tadi, tetapi tidak ia lakukan, ia tetap diam berbaring di lantai dan tersenyum, sudah seperti orang gila. Arya meninju Bima sekuat tenaga, persis seperti perkelahian mereka dulu. “Bajingan lu, Bim!!” Arya memaki di sela-sela pukulannya. “Gue udah turutin mau lu. Gue pergi dari dia. Tapi kenapa lu masih disini. Belum puas juga lu, hah! Brengsek lu, Bim!” Arya mengamuk hebat, ia seperti tak peduli jika ia bisa membunuhnya. Anehnya, Bima sama sekali tidak berusaha menahan serangan Arya atau mencoba berbalik melawan, ia hanya tersenyum saja, mengejek Arya. “Jangan ganggu hidup gue lagi, Bim. Gue cinta sama cewek itu. Gue sembuh. Gue bukan yang dulu!” teriak Arya keras masih di sela-sela pukulannya. Dan lagi-lagi, Bima hanya membentuk senyum di balik balutan darah yang keluar dari mulut dan hidungnya. Arya menghentikan pukulannya, lelah dan tersinggung dengan reaksi Bima, kedua tangannya berganti mencengkram kerah baju Bima. “Gue masih sayang sama lu, Ar. Lu itu milik gue selamanya. Cewek itu nggak ada apa-apanya dibanding gue” ucap Bima tersendat-sendat. “Kalau gue nggak bisa milikin elu lagi,” Bima melirik ke arahku, telunjuknya terangkat, ditunjuknya lurus lurus wajahku, “maka dia juga nggak bisa dapetin elu.” Jari-jari Arya semakin kuat mengepal. “BRENGSEK LU!!”


-THE END-

Rabu, 28 Agustus 2013

Stres itu kalau dikejar deadline. Pengen ikut lomba tapi batas akhir pengiriman tanggal 25 september sedangkan ini sudah tanggal 29 Agustus. Pengen belajar kimia organik 1 tapi tanggal 2 september udah masuk kuliah awal dengan mata kuliah kimia organik 2, aku pasti keteteran lagi di kimia organik 2. Haduh panik banget ini.
Manusia adalah para pemerhati. 
Setiap manusia akan memperhatikan manusia lainnya. Apalagi jika manusia itu berbeda darinya. Entah berbeda karena lebih baik atau karena lebih buruk. Manusia akan sangat memperhatikannya dan membicarakannya bersama manusia lain. Itulah manusia, jadi menurutku seorang manusia tidak perlu bersikaf naif dengan marah ketika kamu sedang diperhatikan dan dibicarakan karena kamu juga manusia yang akan memperhatikan dan membicarakan orang lain

Senin, 26 Agustus 2013

Mimpi itu Masih Terbungkus dalam Kata "Seandainya"

          Kalau aku bicara tentang mimpi atau keinginan maka akan menjurus pada sebuah presepsi bahwa aku tidak pernah bersyukur. Sedihnya, cita-citaku sulit sekali tercapai. Aku pernah bermimpi ingin menjadi dokter, rasanya tidak mungkin dengan kondisi keuangan dan otakku yang sekadarnya saja ini. Bermimpi menjadi pramugari, juga tak bisa tercapai karena tinggi badanku yang 'semampai' semeterpun tak sampai. Pernah membayangkan aku menjadi seorang pelukis atau arsitektur, ternyata aku hanya seorang peniru, aku tidak pernah bisa membuat gambarku sendiri, aku hanya bisa menirukan karya orang lain, ditambah lagi untuk menjadi arsitek harus kuat dalam fisika tapi aku justru diinjak-injak olehnya. Selain itu, aku juga pernah berkhayal suatu saat ada sebuah buku dengan namaku tercantum di dalamnya sebagai sang penulis. Namun hingga saat ini, sebuah cerpen pun tak rampung-rampung. Mungkin, dulu aku pernah mengucapkan bahwa cita-citaku adalah guru, dan inilah satu-satunya cita-citaku yang terwujud, kini aku telah berada dalam prosesnya. Seharusnya aku mensyukuri ini namun seringkali ada suara dalam otakku mengatakan "Bukan ini yang aku mau", lalu aada suara lain lagi berteriak "jadi apa yang kau inginkan?!" Berhenti. Tidak ada tangggapan lagi. Suara teriakan itu hanya berputar-putar pada dua kalimat itu karena suara satu, juga tak tau apa yang sesungguhnya yang ia mau. 
          Untuk keinginan-keinginan kecil yanga aku kehendaki, ada yang terwujud ada yang belum. Aku tak berani mengatakan tidak karena mungkin aku masih bisa mewujudkannya. Aku berterima kasih pada Allah atas segala karuniaNya dan atas segala hal yang telah Ia kabulkan. Aku makhluk berdosa karena tidak ingat apa saja permintaanku yang telah Ia kabulkan. Justru hal yang aku ingat hanyalah yang belum dikabulkanNya. Namun aku masih ingat betapa senangnya aku saat keinginanku dikabulkan. Saat SMA aku sangat menginginkan sebuah laptop seperti teman-temanku. Karena alat itu mempermudah dalam tugas-tugas sekolah. Aku sangat ingin tetapi uang tabunganku tidak cukup untuk membelinya. Butuh minimal 5 juta untuk bisa memilikinya, namun sampai aku lulus SMA pun aku belum memilikinya. Allah tahu kapan Ia harus mengabulkan doaku. Ketika aku masuk kuliah, ibuku akhirnya membelikanku laptop karena memang diwajibkan dalam proses perkuliahan. Aku tak bisa mengungkapkan kesenanganku dalam kata per kata. Yang jelas aku bersyukur. 
          Hal-hal kecil yang aku inginkan itu seperti, aku punya sebuah piala, aku bisa bermain gitar, aku bisa berdagang seperti anak kos lainnya, aku bisa membuat orang tertawa, aku bisa bekerja dan begaul dalam sebuah organisasi dan juga punya banyak kenalan, aku bisa jalan-jalan jauh tanpa mabuk, yang paling penting, aku bisa tersenyum manis. Itu sedikit adalah keinginan-keinginan kecilku. Mungkin bagi orang lain hal itu mudah dilakukan, tapi orang lain tidak tau kendala apa yang aku alami singga membuat hal-hal kecil itu menjadi sulit dilakukan. Selain keinginan-keinginan kecil itu aku punya keinginan besar.
         Aku punya mimpi  membuat sebuah rumah besar untuk keluargaku. Bukan, bukan rumah besar tapi rumah sederhana yang memang bisa disebut sebuah rumah ideal. Sehingga adikku tidak perlu lagi menahan sakit untuk menahan malu. Sebuah rumah untuk keluargaku, itu mimpi besarku. Untuk menggapai mimpiku itu aku butuh sekitar Rp. 500.000.000,00 untuk sebuah rumah kecil di tahun 2013. Harga itu akan selalu naik setiap tahunnya, Sedangkan aku baru lulus kuliah sekitar 3 tahun lagi. Ahh, darimana aku bisa dapat uang sebanyak itu. Entahlah.
           Satu hal yang baru aku sadari saat ini, aku tidak tau apa keinginan ibuku. Ia tak pernah mengatakan apa keinginannya. Yang aku tahu, ia hanya ingin aku menjadi 'orang' punya pekerjaan yang layak. Hanya itu. Selain itu aku tidak tahu lagi. Dan baru hari ini pula aku tahu apa yang benar-benar diinginkan bapakku. Ia ingin pergi hati. Ya Allah, kapan aku bisa mewujudkan semua mimpi itu. Semuanya masih terbungkus dalam kata 'Seandainya'.

Kamis, 22 Agustus 2013

Tragedi Kecelakaan 23/8

Uwaaa... Tragedi hari ini tanggal 23 Agustus 2013 jam 08.52 WIB Laptop Asus U32U series kesayanganku jatuh dari atas meja. Dan itu akibat kesalahanku. Awal cerita dimulai karena aku tergiur aroma makanan yang tercium dari dapur, aku yang masih menggeliat di pulau kasur bersama sang Laptop tiba-tiba merasakan lapar yang luar biasa. Saat itu laptop sedang dalam perjalanan menampilkan balasan retweetku. Laptop ku juga masih dalam posisi injeksi dengan charger. Kabelnya menjulur panjang di lantai dari bawah meja hingga ke atas kasurku
Aku yang diserang lapar buru-buru memindahkan laptop ke atas meja yang berada dua langkah di seberang tempat tidur. Kabel charger yang tengah menyedot listrik dari dalam stavol juga mengikuti induknya, laptopku, kemana pun ia pergi. Dan hal ini membuat kabel yang awalnya menjalar lurus seperti rambut lurus mulus para bintang iklan sampoo, berubah menjadi acak adut gak karuan. Parahnya kabel itu tidak tergeletak lengket dengan lantai tapi bergelombang di sepanjang kabel. Setelah menaruh laptop di atas meja, aku mengambil langkah besar hendak berlari, namun sayang langkah besar itu membawa malapetaka untuk laptopku. Kabel charger yang bergelombang tadi menghadang pergelangan kakiku namun tak berhasil menghalau kekuatan langkahku sehingga ia justru ikut bersama pergelangan kakiku. Sayangnya ia juga membawa induknya bersamanya, sang laptopku. 
DUAAKKK.....
Jadilah induk sang kabel, laptopku, terhempas bersama dengan modem yang menjadi dot untuk laptopku. Laptopku yang tadinya masih menyala, menampilkan foto profil seorang cowok, sedetik kemudian tak sadarkan diri, lalu menutup mata, sang layar memeluk sang keyboard dengan romantisnya. 
Aku, aku hanya berdiri tak berkutik melihat laptopku mengalami kecelakaan berdarah. Sekedip berikutnya, aku pun memberikan pertolongan pertama pada laptop kesayanganku, aku mengangkatnya kembali ke atas meja, memeriksa luka-lukanya apakah meninggalkan banyak goresan. Aku melepaskan modem yang tadi di-dot oleh laptopku, dan ku dapati sang modem mengalami patah tulang, colokannya tidak lagi sejajar dengan kepalanya. Aku merebahkannya di samping laptopku. Aku kembali memeriksa sekujur tubuh laptopku. Aku mencoba membangunkannya, dengan rintih laptopku mencoba mengatakan kalau ia baru saja mengalami kecelakaan dan mengalami benturan sehingga tak bisa membuka mata dengan cara biasa, aku harus memilih menyadarkannya dengan "SAFE MODE" atau "OPEN WINDOWS NORMALLY", sungguh pilihan yang sangat berat. Aku berpikir tidak mungkin, aku memaksakannya untuk sadar dan melakukan aktivitas berat seperti biasa, aku harus mengerti perasaannya, sehingga pilihanku jatuh pada SAFE MODE. Setelah laptopku berhasil sadar meski belum sepenuhnnya, aku memeriksa bagian-bagian vital lainnya. 
Aku membuka beberapa program, mengecek tombol-tombol keyboard, mengelus-elus touching pad, semuanya baik-baik saja, semoga. Aku membiarkannya istirahat kembali, memulihkan keadaannya dan juga keadaanku sendiri. Karena aku juga tidak dalam kondisi baik, I'm shaking, gemetar luar biasa. Aku takut laptop kesayanganku ini benar-benar tewas atau ada bagian yang rusak parah. Aku takut Ibuku marah karena bagiku laptop ini bukan barang yang mudah dibeli hanya dengan beberapa rupiah, akan tetapi perlu banyak sekali rupiah.
Aku kembali menengok sang modem yang patah tulang tergeletak di samping laptopku. Kucoba meluruskan kembali tulangnya tetapi tidak bisa. Sepertinya ini sudah patah permanen tidak bisa diperbaiki, tapi tak apa seperti ini asalkan dia tetap masih bisa memberikan suplay susu (red : internet) untuk laptopku. Aku membiarkan laptopku dan teman-temannya beristirahat. Aku pun melakukan apa yang tadi menjadi niatku (red : makan). Mencoba menikmati makanan lezat buatan ibuku meskipun masih dengan tangan bergetar. Makanan ini tetap enak. 
Setelah menit-menit berlalu, setelah laptopku tak lagi kesakitan, aku kembali menyalakan laptop penuh harap semua baik-baik saja. Awal yang bagus, laptopku menyadarkan diri dengan normal, aku menunggunya sampai benar-banar sadar. Lagi, aku mengecek beberapa program, mengecek sensitivitas keyboard dan touching pad, syukurlah semua masih baik-baik saja, Amin. Selanjutnya aku mengecek suplay susu untuk laptopku. Masalah mulai muncul, kerusakan pada modem membuat bentuk tubuhnya tidak sesuai lagi dengan bibir sang laptop (red : lubang USB). Sedikit takut, aku memeriksa apa lekukan kecil itu bisa diperbaiki. Untunglah masih bisa di luruskan dengan sedikit dorongan. Alhamdulillah, ternyata laptopku masih bisa menge-dot pada modem. Dan jadilah tulisan alay ini. Tetapi sungguh, tragedi ini memberikan aku pelajaran untuk selalu berhati_hati dengan hal-hal yang panjang, hahaha. Terima kasih ya Allah, masih memberikan umur panjang untuk my sweet laptop, dan laptop, kamu juga harus selalu sehat, aku akan selalu untuk menjaga mu sayangg... Mumumumumuaachhhh



Sebelum kecelakaan
Charger jenguk induknya, laptopku


Foto bersama

Modem yang patah tualang (lihat kepalanya bengkok)

Senin, 05 Agustus 2013

Ternyata Begini Rasanya

      Ternyata rasanya seperti ini. Aku baru bisa merasakannya sekarang. Rasanya tidak enak, rasanya aneh, rasanya tidak semangat, rasanya berbeda. Apa ini yang dirasakan oleh orang lain? Aku serasa tidak berada di rumah. Bahkan ini terasa lebih sulit dibanding sendirian di kost. Ini bukan seperti yang aku harapkan, bukan seperti yang selalu aku bayangkan, bukan kebersamaan yang aku inginkan.
      Rumahku yang terletak di pinggiran Kalimantan ini sudah terasa berbeda dari setahun yang lalu ketika aku berangkat kuliah, berbeda karena tidak ada ibuku yang selalu mengomel, tidak ada ibuku yang bisa ku ajak bicara, tidak ada ibu yang bisa aku goda. Kini ibu sudah sibuk bekerja di luar, berusaha mencari beberapa ratus ribu sebagai tambahan uang keluarga. Untuk satu atau dua hari, aku masih bisa terima sendirian di rumah. Tetapi kini setelah beberapa hari terlewati tanpa Ibu di rumah, rasanya benar-benar berbeda, rasanya sedih. Kini tidak ada lagi bau harum masakan Ibu untuk menyiapkan makanan buka puasa, tidak ada lagi Ibu yang minta pendapatku untuk memasak makanan apa, tidak ada Ibu di dapur. Di bulan puasa ini, tidak ada lagi suara berisik mixer dan blender Ibu yang kerepotan membuat kue. Aku rindu semua itu.
      Ibu berangkat pagi dan baru pulang satu jam sebelum buka puasa. Ibu sudah bawa makanan untuk berbuka puasa. Makanan yang Ibu bawa termasuk makanan enak, lauk daging atau ayam, kadang ikan yang harganya mahal, udang besar, dan lainnya. Biasanya aku akan sangat bersemangat dengan piring yang sudah terisi penuh dengan nasi, tetapi entah kenapa meskipun aku lapar, makanan itu tidak membuat aku bersemangat, hanya makan sekiranya saja, mencoba menghargai apa yang dibawa ibuku. Walaupun makanan itu terlihat enak, aku merasa makanan itu biasa saja. Lidahku sudah terbiasa dengan bumbu masakan Ibuku yang sedap. Orang bilang masakan Ibuku hambar karena tanpa vitsin, tapi bagiku makanan Ibu yang paling seger tanpa bikin tenggorokanku gatal. Pekerjaan ibu membuatku kangen ibu dan masakannya. Terlebih lagi, tak ada waktu untukku untuk bercengkrama dengan ibu di malam hari karena ia selalu tertidur lebih awal di maam hari karena kelelahan, kalau sudah begitu aku tak tega membuat kegaduhan sedikitpun dengan adikku.
      Semenjak aku kuliah, Ibu mulai mencari pekerjaan sampingan karena gaji yang diterima bapak tidak akan cukup untuk memenuhi keperluan kuliahku dan kebutuhan rumah. Aku bukan anak yang pandai, apalagi untuk setara dengan anak-anak Jawa. Aku berusaha mencari beasiswa, tetapi dengan kemampuan otakku yang segini sepertinya aku bukan apa-apa. Aku tidak tahu bagaimana harus membantu Ibu, yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah berhemat sehemat mungkin. Aku memang tidak bisa protes dengan pekerjaan Ibu karena memang keluargaku membutuhkannya. Aku hanya belum terbiasa dengan ketidakkeberadaan ibu di rumah karena sejak dulu ketika aku pulang sekolah, orang pertama yang selalu mendengar ceritaku adalah ibu. Aku hanya perlu beradaptasi lagi dengan suasana baru ini. Tak ada ibu di rumah itu rasanya sedih.

Sabtu, 20 Juli 2013

My Flat Love

        Aku benci film-film romantis. Bukan berarti film itu jelek ataupun terlalu cengeng, tapi karena aku yang tidak sanggup untuk terus mengkhayal. Aku muak terus bertanya, kapan aku punya cerita cinta seperti itu? Kapan aku punya lelaki yang berkorban segalanya untukku? Pikiran-pikiran iri seperti itu yang membuatku lelah, karena sampai sekarang aku belum pernah merasakan cinta seperti itu.
        Ketika aku menyukai seseorang, aku hanya sanggup memperhatikannya, melihatnya tertawa, melihatnya luar biasa. Tapi hanya sanggup melihat. Aku bahkan tidak berani mendekat. Ketika dia datang ntuk menyapa, mencoba mengobrol denganku, hal itu adalah hal yang tidak akan pernah terlupakan. Setidaknya dia menganggap aku ada di sekitarnya. Perasaan luar biasa itu yang selalu membuatmu tersenyum sepanjang ahari, tidak peduli masalah apa yang sedang menimpamu. Aku selalu ingin perasaan seperti itu.
        Namun perasaan itu seringkali cepat menghilang padaku, tidak ada kelanjutannya. Perasaan yang terjadi jutru berubah menjadi perasaan ditinggalkan. Dia yang datang akan pergi menjauh. Dia pergi setelah aku mencoba dekat. Aku selalu bertanya, apa yang salah? apa yang kurang? Apa aku membosankan? Disela pertanyaan itu aku hanya mampu memaki. Dasar wanita Bodoh. 
        Semua cerita cintaku hanya berakhir seperti itu, tak pernah ada ending, hanya berhenti di tengah jalan. Selanjutnya aku kembali menunggu. Menunggu siapa lagi yang menganggap aku disekitarnya. Selama menunggu itu, aku menghindari khayalan nakal. 
         Meskipun cerita hidup dan cintaku terasa flat. Aku masih punya harapan, bahwa suatu saat akan ada yang datang untuk mengambil tulang rusuknya, yang tersimpan padaku. Tuhan tidak akan membiarkanku sendiri. Butuh waktu untuk mendapatkan kesempurnaan, dan butuh waktu pula bagi yang datang untuk menyempurnakanku. Kekekekekekk, tiba-tiba aku berubah alay. 

Kamis, 18 Juli 2013

Semua yang Rusak Tidak Pernah Kembali Sempurna

    Sesuatu yang telah rusak tidak akan pernah bisa kembali sempurna seperti semula meskipun telah diperbaiki. Apapun itu, semua tidak akan pernah kembali seperti semula, ketidaksempurnaan itu mungkin tidak terlihat namun itu ada nyata, entah itu untuk benda mati maupun benda hidup. Alat-alat yang rusak akan tetap meninggalkan kecacatan meski telah diperbaiki. Sama halnya dengan manusia, ketika terjadi kerusakan dalam diri manusia maka selalu ada bekasnya dan tidak akan pernah hilang. Sebagai contohnya ialah penyakit yang menyerang tubuh manusia, penyakit itu tidak pernah hilang, dia hanya diam, bersembunyi dalam salah satu ruang tubuh manusia. Dia akan selamanya disitu, tak akan pernah pergi dan lenyap dari tubuh manusia. 
     Bukan hanya penyakit yang dapat menimbulkan kerusakan dalam diri manusia melainkan juga rasa marah. Amarah adalah hal yang tak pernah bisa terhapus dalam diri manusia meskipun telah berusaha dilupakan. Kita manusia pernah merasa tidak percaya, dihina, tidak dihargai, di-under estimate, dilecehkan dan lainnya yang membuat diri kita marah. Amarah itu akan berinkubasi menjadi benci dan menimbulkan penyakit dendam yang akan menginfeksi pintu maaf. Sekali pun sempat diobati, dalam diri manusia itu telah terluka, luka itulah yang menimbulkan cacat yang tak akan pernah hilang. 
        Bagiku, semakin lama, semakin banyak umur manusia maka akan semakin sering manusia diserang oleh rasa amarah sehingga semakin banyak pula rasa maaf yang terluka. Sehingga sebenarnya, semakin lama manusia tumbuh berkembang justru semakin sakit dirinya. Kita, aku rasa hanya hidup dalam kepura-puraan, pura-pura baik, pura-pura tersenyum, pura-pura memaafkan karena sebenarnya di dalam diri kita, sudah terpupuk rasa benci terhadap yang lainnya. 
      Kita yang sudah terlanjur benci, akan dengan mudah menemukan kesalahan orang lain entah itu kebiasaan buruknya, sikapnya, atau kelemahan karakternya. Bagi kita ada saja alasan untuk membuatnya salah, dan inilah salah saatu gejala dari masa inkubasi. Penyakit ini akan terus berlanjut dengan tidak ingin menatapnya, tidak ingin berbicara dengannya dan tidak ingin berurusan dengannya, yang terpenting menjauh darinya. Dan yang membuat kita itu payah adalah kita tidak bisa menahan untuk tidak mengajak orang lain untuk juga membenci orang yang kita benci. Kita akan bercerita panjang lebar tentang prespektif buruk kita tentang orang lain, dan teman cerita itu seringkali 95%, juga akan berpandangan buruk tentang orang lain tersebut. Dan pada akhirnya pandangan buruk itu sudah akan melekat dalam pikiran kita, ketika tidak diobati kalimat yang muncul adalah "Nggak sudi aku maafin dia." Meskipun sempat ada usaha untuk mengobati, semuanya tidak pernah baik lagi. Hal yang muncul selanjutnya hanyalah kepura-puraan, pura pura tidak terjadi apa-apa, pura-pura peduli, pura -pura baik dan pura-pura tersenyum, semuanya hanya pura-pura. Karena kemarahan itu akan terus membuat diri kita selalu membencinya, membicarakannya kelemahannya dibelakang. Karena manusia itu telah terluka. Bahkan terkadang ketika berusaha dilakukan pengobatan, justru membuat manusia itu bertambah rasa sakitnya karena mungkin ada hal yang sedikit banyak kita ketahui tentang berbagai alasan yang tiba tiba terbentuk untuk membuat salah itu semakin salah. 
        Masih belum sadarkah kita, bahwa sebaik apapun sebuah hubungan suatu saat pasti akan sakit. Dan sakit itu tidak akan pernah terobati, dan sakit itu akan selalu membuat guratan memori yang membuat gundukan bekas yang kokoh yang tak akan pernah hilang meskin dihapus oleh topan,

Jumat, 26 April 2013

Sh*t Sahabat

Sahabat.
Banyak orang mengagung-agungkan sahabat. Sahabat bagaikan bla bla bla bla. Tanpa sahabat hidup akan menjadi bla bla bla bla bla. Pilih Cinta atau Sahabat, semua memilih sahabat. Sahabat adalah orang yang paling mengerti akan diri kita bla bla bla bla. Sahabat dalam kesempurnan lirik lagu bla bla bla bla
Dengan menulis ini, mungkin orang akan menganggap saya sebagai orang yang pesimitis. Tapi saya punya pandangan lain soal sahabat.
Pernahkah kau melihat diri anda sendiri, pernahkah Anda mengevaluasi diri Anda sendiri. Pernahkah Anda mengingat betapa seringnya Anda menjelek-jelekkan 'sahabat' Anda ketika ia sedang pergi menjauh dari kerumunan Anda. Pernahkah Anda mengingat betapa seringnya Anda membocorkan rahasia 'Sahabat' Anda, padahal Anda telah berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun. 
Saya mengakui, saya tidak pernah menyebutkan salah seorang pun sebagai sahabat saya. Benar, saya memang tidak punya sahabat. Saya mengamati banyak orang membicarakan aib temannya sendiri 'kepada saya' atau kepada orang lain. Itu membuat saya berpikir, orang yang saya anggap sahabat juga akan melakukan hal yang sama dibelakang saya. 
Saya rasa itu memang sifat alami manusia, sulit mengendalikan diri sendiri, termasuk diri saya sendiri. Manusia itu naif, seringkali tidak berani mengungkapkan secara 'face to face' kepada seseorang yang mengganjal pikirannya, termasuk saya. Manusia akan mencari orang lain untuk mendengarkan rasa gondoknya terhadap seseorang. Dengan kata lain, dia akan mencari pengikut, orang yang mempunyai kegondokkan yang sama, lalu mengintimidasi yang lain. Tidak pernah mau untuk duduk bertemu, lalu membicarakan permasalahannya. Hal ini akan terjadi baik itu sahabatmu atau bukan. Karena itu aku tidak percaya pada yang namanya Sahabat. Sahabat itu juga manusia, manusia itu baik kalau ada maunya, kalau tidak ada maunya ya seenaknya sendiri, dan saya yakin itu juga bagian dari diri saya. 
Saran saya hanya satu, be realistic. You cannot trust another human except your parent.. ! Sahabat atau apalah namanya itu bukan orang yang akan menjaga aib mu sampai mati.

This is my opinion. What's yours?

Mungkin, Aku memanglah Keset

Aku anak perantauan. Aku hidup dan tinggal di Kalimantaap tidak bisa menn. Sebenarnya aku bukan anak Kalimantan asli. Aku lahir di Pati, di desa kecil, bagian dari Jawa Tengah. Tapi sekarang aku sedang menempuh pendidikan di luar Kalimantan. Provinsi besar katanya, Jawa.
 Aku masih anak baru disini. Sekarang aku masih anak semester dua. Selama, dua semester ini aku belum pernah pulang. Mereka (orang Jawa) bilang rumahku sangat jauh. Iya, bagi ku rumahku sangat jauh karena aku harus menempuh perjalanan satu hari satu malam di dalam kapal untuk bisa pulang. Tapi untuk beberapa temanku (yang sama-sama perantauan), mereka selalu tidak terima kalau

ada yang bilang Kalimantan itu jauh. Mereka merasa terhina, karena dianggap orang pedalaman. Bagi mereka Kalimantan itu memang dekat karena hanya perlu 45 menit untuk naik pesawat ke bandara tempat kota kami tinggal. Hal itulah yang membuat presepsi kami tentang jarak Kalimantan ke Jawa itu berbeda. Semua hanya berpusat pada Uang. Uang membuat semua hal dapat diliha dari berbagai macam prespektif. Karena itulah aku selalu bermimpi untuk memiliki uang. Banyak orang seakan menjadi raja dengan uang. Merendahkan orang lain, membentak  orang lain, mengatur orang lain dengan mudahnya karena memiliki uang. Aku sering melihat Ibuku direndahkan orang lain, tidak dihargai orang lain. Aku hanya ingin mengembalikan derajat Ibuku ke tempat paling nyaman tanpa suara melengking manusia manusia sombong itu. Aku ingin itu, aku ingin membungkang mulut mereka dengan hal yang paling mereka banggakan. Aku ingin menyandung mereka dengan hal yang selalu mereka pamerkan. Aku ingin, sangat ingin. 

Tapi aku seperti tidak pernah punya kesempatan untuk melakukan hal itu. Aku hanya sama seperti Ibuku, hanya seperti keset yang selalu dihina. Tanpa adanya perubahan, keinginan ini hanya menjadi dendam yang tak pernah terwujud. Aku tetap menjadi keset, keset yang lembut, yang nyaman untuk diinjak injak.