Kamis, 26 September 2013



Bukan Aku Lagi


Bima mulai mengurangi kecepatan motornya, itu berarti rumahku tidak jauh lagi. Aku yang sedari tadi berlindung di balik punggung Bima, tak ingin melawan pukulan dingin angin malam, perlahan ku tegakkan  kepala dan punggungku. Kedua tanganku yang melingkar erat di pinggang Bima pun aku longgarkan. Udara malam yang lembab terhirup hidung dalam-dalam, aku menyebarkan pandangan ke jalanan yang sepi. Pandanganku lalu segera tertuju pada sebuah siluet di depan sana. Siluet seorang pria tengah terduduk lesu bersandar pada pintu gerbang rumahku, berteduh di bawah lampu jalan. Pelan, motor Bima mendekati pintu gerbang rumahku, semakin jelas lekuk-lekuk tubuhnya. Deru gemuruh suara motor Bima berhasil memanggilnya untuk menoleh. Pria itu lalu berdiri dari tempatnya, menyambut kedatangan kami, kini wajahnya tak lagi tertutup gelapnya malam namun berganti tersorot sinar lampu motor Bima, di wajahnya jelas terlihat kedua matanya menyipit karena silau.
“Arya,” gumamku dari atas motor. Sudah seminggu, sejak pertengkaran di pesta itu, Arya tak menghubungiku sama sekali. Aku begitu lega melihat sosoknya lagi. Aku segera turun begitu Bima menghentikan motornya, cepat menghampiri Arya. “Arya, aku minta maaf. Jangan tinggalin aku. Aku masih sayang sama kamu, hanya saja aku nggak betah dengan sikap posesifmu,” uraiku penuh dengan jeda. Namun, Arya tak mengindahkanku, ia justru berjalan melewatiku, menghampiri Bima yang berdiri di dekat motor.
BUKKK.
Belum sempat Bima bersiap mempertahankan diri. Kepalan tangan Arya mendarat mulus di pipi Bima. Arya menarik kerah Bima, menghantamkan pukulannya pada wajah Bima beberapa kali. Puas. Arya pun melepaskan kerah Bima, membiarkannya tersungkur. Arya membiarkan Bima bangkit berdiri lagi. Kembali Arya melayangkan kepalan jarinya, namun Bima telah bersiap, ia dapat menghindar. Arya yang lengah, membuat Bima memiliki kesempatan untuk menghantamkan pukulan ke perutnya berkali-kali. Arya pun jatuh terjerembab. Susah payah, Arya berdiri lagi dan mengayunkan tinjunya. Namun sekali lagi Bima dapat menghindar, ditahannya tubuh Arya, lutut Bima yang menukik, menghantam perut Arya. Arya jatuh lagi dengan posisi dada menghempas aspal. Belum puas, Bima kembali menendang tubuh Arya hingga terguling-guling. Setiap kali Arya bangkit berdiri, pukulan menghampirinya. Bima tak merasa getir melihat ketidakberdayaan Arya. Sekali lagi Bima perlahan menghampiri Arya yang tergeletak, kembali diayunkan kaki kanannya. Namun, justru kini Bima yang terjungkal ke aspal. Belum sempat kaki Bima menendangnya, Arya menahan kaki kanan Bima terlebih dahulu hingga Bima kehilangan keseimbangan dan jatuh. Seperti telah hilang rasa sakitnya, Arya menduduki tubuh Bima, menahan kedua lengan Bima dengan lututnya dan mengumpulkan semua kekuatan pada tangan kanannya. Wajah Bima kini sama halnya dengan wajah Arya, berlumuran darah di segala penjuru, bibir, hidung, dan pelipis.
Aku menangis ketakutan melihat mereka berdua berkelahi. Berkali-kali aku berteriak untuk berhenti, namun tak ada yang mendengarkan. Aku hanya diam di tempat, menangis, berteriak, tak sanggup mendekat. “Berhenti Arya! Berhenti! Aku takut sama kamu!! Berhenti Ar!!” jeritku tak karuan. Pijakanku terasa lemas, tak sanggup menopang tubuhku yang gemetar, aku luruh terduduk. “Sudah Ar.. sudah..! Aku takut, Ar..! Aku takut.. ” suaraku lirih.
Arya berhenti memukul, berdiri perlahan, ia melangkah mundur dengan tubuh terhuyung-huyung, menjauhkan diri dari tubuh Bima, mengatur nafasnya yang terengah-engah. Sementara Bima memegang perutnya, merintih, menahan sakit. Aku sendiri masih terisak-isak, aku memandangi Arya. Arya lalu menatapku tanpa reaksi lebih sekedar memandangi saja, menatap dalam-dalam. Tak lama ia membalikkan badan, membelakangiku dan Bima yang masih tergeletak di aspal. Hening. Arya mendongakkan kepalanya ke langit seperti kebiasaannya. Setiap kali ia merasa bingung, ia mengadu pada langit malam, mencoba merasukkan malam pada dirinya, membuatnya tenang kembali. Aku menatap lekuk punggungnya yang masih turun naik dengan cepat, tubuh itu kini penuh keringat, luka dan darah. “Gue turutin permintaan lu,” ucap Arya tiba-tiba. Ia berjalan dengan terpicang-pincang, menjauh dariku, semakin lama semakin hilang seolah malam mengantarkannya pulang. Aku terlalu sibuk menangis, lidahku kelu, bahkan tak sanggup hanya untuk mencegahnya pergi lagi.

****

Hari semakin sore namun matahari senja tak dapat memamerkan sinar emasnya karena hitam menutupi langit. Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air ke bumi, menandakan besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut terhanyut olehnya. Tetes hujan yang jatuh memainkan alunan nada rindunya sendiri, terasa begitu sendu namun justru melegakan. Pada deretan tiga jendela, aku duduk bersila di jendela paling kanan, kedua telapak tanganku menyangga dagu, menopang kepalaku. Rintik-rintik nakal menerpa kaca jendela dihadapanku, bening, kecil dan banyak, mencoba menerobos, ingin menyentuhku. Ingin menghapus rinduku juga.
Tiga bulan sudah Arya menghilang sejak kejadian malam itu, tak ada kabar, seperti hilang ditelan malam. Setiap kali ingat ucapan Arya malam itu, untuk menuruti permintaanku, aku marah. Aku hanya memintanya jangan bersikap posesif, bukan pergi. Aku mengutuknya karena salah mencerna ucapanku. Meski, sesungguhnya aku pun merasa bersalah. Keadaan memang berubah drastis sejak saat itu.

****

Cafe tempat biasa aku dan Arya makan bersama menambahkan fasilitas baru live music. Lagu Beyonce “When You Believe” mengalun merdu memenuhi sudut ruanagan. Arya duduk membelakangi posisi tempat para pemain band itu tampil sehingga ia tidak begitu memperhatikan, atau lebih tepatnya tidak memperdulikan.
“Wah lihat, ada live musiknya sekarang!” ucapku kagum.
“Nggak pengen lihat, pengen lihat kamu aja,” jawab Arya santai.
Aku menyimpitkan mata, tersenyum simpul. Ucapan sederhana itu masih mampu membuatku tersipu malu meski sudah dua tahun, kami berpacaran. Meski sudah dua tahun, aku masih sering didera rasa cemburu oleh cewek-cewek yang datang menggodanya. Bagaimana tidak, Arya itu seperti makhluk perfect, maniak olahraga, jago musik, wajahnya mirip Mario Maurer, apalagi dengan lesung pipitnya yang manis yang terbentuk tiap kali ia tersenyum, melelehkan hati kaum hawa. Ia sudah kuliah semester lima, sementara aku masih menjadi anak paling senior di SMA. Namun, dengan semua keperfect-annya, dia tidak pernah selingkuh dan juga tak merasa risih dengan statusku yang masih SMA, ia justru sangat dewasa dalam membimbing dan menghadapi sifat kekanak-kanakkanku. Itulah yang membuatnya menjadi Aryaku yang sempurna. Aku akan butuh waktu sangat lama untuk move on kalau harus putus dengan Arya.
Tak lama setelah lagu berakhir, seorang pria sudah berada di samping meja makan kami. Pria ini gayanya seperti Arya, anak kuliahan, kulitnya bersih, kaos biru gelap dan celana jeans hitam membalut tubuhnya yang tinggi gagah, bentuk wajah yang oval membuatnya memiliki ketampanan yang terselubung, sayang air mukanya terlihat suram, matanya memancarkan kemarahan. Aku pikir ia tertarik oleh kecantikanku, ternyata ia justru memandang Arya sambil tersenyum sinis, tatapannya dalam seperti mengatakan sesuatu yang hanya dimengerti olehnya dan Arya. Benar saja, kedatangan pria ini membuat Arya terperangah, seperti tengah melihat sesosok hantu.
Pria itu megalihkan pandangannya padaku sesaat, lalu mengambil ponselku yang ada diatas meja, mengetik sesuatu, menaruhnya kembali di atas meja. Pria itu kembali menatapku yang tengah melongo. “Gue udah nge-save nomor gue, nanti gue hubungin lu. Atau lu bisa datang kesini aja, gue selalu tampil disini,” ucapnya dingin dan galak. Gila, ini cowok deketin cewek orang di depan pacarnya si cewek langsung, nggak pakai basa-basi. Baru selangkah pria ini hendak pergi dari meja kami, ia berbalik, menatapku lagi. “Tenang aja, gue temen lama Arya,” sembari tersenyum kecil dan menepuk pundak Arya. Berbalik dan berlalu pergi, kembali ke tempat para pemain band berkumpul.

****

Arya bukanlah Arya sejak malam itu. Arya berubah menjadi sangat-sangat-sangat posesif. Malam setelah kejadian itu, Arya berkali-kali menelponku hanya untuk menanyakan hal yang sama, “Apa cowok itu ngehubungin kamu?” Dan setiap kali ditanya kenapa dia begitu panik, jawabannya selalu sama, “Nggak apa-apa.” Padahal cowok itu juga sebenarnya tidak menghubungiku sama sekali. Entahlah, sejak saat itu Arya selalu ketakutan dan gelisah. Dia selalu mengantar jemputku ke sekolah, ke tempat les, entah dari mana dia punya waktu untuk kegiatan antar-jemput ini, bagaimana dengan kuliahnya sepertinya ia tidak peduli. Dia bahkan berubah menjadi sangat cerewet dibanding mamaku sendiri, kalau nggak jawab telpon atau nggak balas sms secepatnya, Arya bisa tiba-tiba nongol depan rumah atau ponselku isinya misscall-an dia semua.
Pada satu titik, aku sudah benar-benar muak dengan jawaban, nggak apa-apa, gue cuma khawatir aja. Klise. “That’s enough! Gue nggak mau lagi kayak gini! Pokoknya harus cerita, apa yang bikin Arya-ku berubah kayak gini! Penjelasan sekarang! atau we break up!” ancamku dongkol.
Arya terdiam. Ia menunduk membuang nafas lewat mulut. Sepertinya Arya masih mempertimbangkan bagaimana cara mengungkapkannya. Ia menghela nafas panjang. “Cowok yang waktu itu namanya Bima. Dulu gue pernah nyakitin dia. Gue pernah ngambil orang yang paling dia cintai. Tetapi setelah itu gue ninggalin orang yang paling dicintai Bima karena sebuah alasan. Gue nggak tahu kabarnya lagi sejak itu, tetapi sejak itu gue tahu Bima sangat membenci gue. Dan gue takut kamu jadi pelampiasan kemarahannya. Jadi gue mohon jangan pernah dekat sama dia,” Arya mengakhiri ceritanya dengan sebuah permintaan yang tidak bisa aku tepati.
Aku tak bisa lagi menahan pikiranku, aku mendatangi cafe tempat Bima manggung, duduk sendiri melihatnya sedang bermain gitar. Tanpa aku panggil, Bima datang sendiri menghampiriku. Ia duduk dan melipat tangan di depan dadanya menatapku sesaat lalu berpaling lagi, “Jadi, Arya cerita apa ke lu?” Aku cukup terkejut dengan lontaran pertanyaan Bima tetapi aku tak mau ambil pusing, aku tak perlu lagi repot basa-basi hal yang tak penting. Aku mengulang apa yang telah diceritakan Arya padaku, kecuali bagian yang tak boleh dekat-dekat dengannya. Aku memintanya untuk memaafkan Arya. Arya pernah jahat, tapi kini tidak lagi. Ia pantas mendapatkan maaf. Bima tak memandangku, ia hanya diam memandangi objek lain selain aku, sikapnya sungguh dingin.
“Oke”, jawab Bima singkat, masih tanpa memandangku. Aku tersenyum bangga. Ternyata ini mudah saja.
Bima mengubah posisi duduknya, tubuh dan bola matanya tepat menghadapku,  tak lagi melipat tangan di dadanya, ia menaruh kedua tanganya di atas meja. Membuat kepercayaan diriku tiba-tiba luntur mendadak, aku gugup. Buruk ini buruk.
“Gue bakalin maafin Arya tapi dengan syarat, lu harus bantuin gue nyariin seseorang sebagai ganti orang yang diambil Arya, gimana?” tantang Bima seraya tersimpul senyum licik di bibirnya. Aku menghela nafas panjang, ini memang tidak mudah.

****

“Hai mbak, boleh minta pin BB-nya nggak?” pintaku dengan senyum menyeringai.
“Enak aja, gue normal tau!” maki si cewek di tengah keramaian. Si cewek pergi begitu saja meninggalkanku, sesekali ia menoleh ke belakang, memasang wajah jijik terhadapku. Aku hanya bisa menunduk malu serasa tengah ditelanjangi di depan umum. Aku menyumpah dalam hati. Sial.
“Ini semua gara-gara lu, Bang!” cecarku pada Bima yang justru cekakakan hingga sakit perut. Beberapa detik, ia terdiam lalu kembali terbahak-bahak, kalau nggak ingat ini tempat umum mungkin sekarang dia sudah guling-gulingan di lantai. Ia sama sekali tidak peduli dengan perasaanku yang berusaha mati-matian mengenalkannya dengan cewek-cewek idaman lelaki. Sudah berminggu-minggu, aku menghabiskan waktu dengannya ke tempat orang ‘kece’ banyak berkumpul, namun hasilnya selalu nihil. Seharusnya ini menjadi pekerjaan mudah karena tampang, body, skill, money, semuanya mendukung seratus persen. Masalahnya terdapat pada sikap Bima. Ia sama sekali tak berusaha mendekati cewek-cewek itu, justru ia selalu mengabaikan cewek-cewek yang bertingkah aneh untuk mencuri pandangannya. Setiap kali aku bertanya seperti apa sebenarnya tipe wanita yang diinginkan, ia justru balik menyuruhku menanyakannya pada Arya. Ini orang ngajak berantem banget. 
Padahal untuk bisa keluar bersama Bima, aku harus mengatasi ke-posesif-an dadakan Arya terlebih dahulu. Posesif memang akan membawa dampak buruk, ia justru membuatku pandai dalam merangkai kebohongan. Tetapi tetap saja, sejak aku sering keluar dengan Bima, setiap malamku, akhir dari sikap posesifnya, selalu ia akhiri dengan short message yang sama yang membuatku geram.
Hari ini kemana? Kamu ketemu sama Bima?
From : My Arya
Geram karena apa yang dituduhkannya padaku adalah benar. Namun aku selalu berkilah sendiri dari rasa bersalahku. Aku memang berbohong tetapi bukan berniat untuk selingkuh melainkan berusaha menghapus rasa takutnya.
Dibalik perbudakkan Bima padaku, aku telah melewati pertemuan demi pertemuan dengan Bima. Hal ini justru membuat kami semakin akrab. Bahkan tak jarang kami menghabiskan waktu berdua saja, lupa dengan tujuan utamaku, sekedar makan bersama, saling bercanda ataupun bercerita segelintir masalah hidup. Aku mengubah pikiranku tentangnya, Bima tidak sedingin yang aku bayangkan. Dia sebenarnya orang yang baik dan sangat perhatian.
“Lecek banget muka lu,” mengejekku seakan tanpa dosa. “Udah, nggak usah diinget lagi omongan cewek songong yang tadi. Nih, gue ada sesuatu buat lu,” seraya mendorong sekotak besar kado merah yang terhias pita putih berbentuk mawar di tengahnya di.
“Apa-an nih?” tanyaku curiga.
“Buka aja,” jawabnya sederhana. Bima memainkan bola matanya, mengejekku.
Segera saja aku buka tutup kado itu, mataku memandang ke dalam isi kado, bibirku membulat, wajahku sumringah, sesekali aku arahkan bola mataku yang berbinar-binar pada Bima sebagai ganti ucapan terima kasih. “Nanti malam, gue jemput lu. Kita ke pestanya temen gue. Gue udah kenalan sama seseorang, nanti malam gue juga mau ketemuan sama dia di pesta itu. Gue mau kenalin dia ke lu, sekalian gue minta pendapat lu,” jelas Bima sambil sesekali menyeruput cappucino hangat pesanannya. Aku mengganguk pasti, tak ingat lagi dengan adegan memalukan tadi. Ternyata Bima ada niatan juga nyari cewek dan masalah ini bisa selesai secepatnya.
Malam ini Bima menjemputku dengan mobil bukan dengan motor gede-nya, mungkin ia sadar kalau hari ini dia pakai jas dan aku pakai gaun sehingga akan meribetkan kalau harus naik motor. Bima mengulurkan tangannya begitu membuka pintu mobil. Aku meraihnya seraya berdiri keluar dari mobil. Ia tersenyum ke arahku, manis sekali. ”Cantik,” katanya. Gaun yang diberikan Bima padaku memang cantik, gaun putih selutut, memperlihatkan bahuku, detail lekukan-lekukan kecil di bagian rok membentuk pola yang rapi, dengan desain bertempuk dua kain di bagian dada membuat gaun ini simple namun menawan. Aku melingkarkan tangan kananku pada tangan kiri Bima,“Yakin gebetan lu nggak bakal jelous sama gue, Bang?” Bima nyengir tanpa menjawab, terus berjalan menggiringku ke arah pintu masuk sebuah rumah yang cukup besar dan sepertinya di dalam sudah ramai oleh tamu, di teras banyak cowok-cowok saling bercengkrama. Kebanyakan dari mereka tersenyum manis ke arahku, membuatku tersanjung. 
Baru saja aku hendak melangkah melewati pintu besar. Lengan kiriku tiba-tiba saja ditahan oleh seseorang, sontak aku menoleh. “Arya?” aku tercekat kaget. Tanpa basa-basi, segera menarikku menjauh dari rumah itu, berjalan sangat cepat, ia tak peduli aku tergopoh-gopoh mengikuti langkah besarnya,. Jari-jarinya sangat kuat memegang pergelangan tanganku, ia terlihat sangat marah. Ia terus menarikku hingga ke jalanan. “Arya sakit! Tanganku sakit,” keluhku tak kuat lagi. Ia pun menghentikan langkah cepatnya, membanting lenganku.
“Aku kan udah bilang jangan ketemu sama dia! Dia itu mau nyakitin kamu. Selama ini, aku biarin kamu jalan sama dia, tapi ini udah keterlaluan!” maki Arya kalap.
“Aku cuma mau bantuin kamu, Ar!” aku membela diri meski rasa bersalah itu ada.
“Bantuin apa? Kamu itu cuma mempermudah dia nyakitin aku. Kenapa sih kamu nggak bisa gunain sedikit otakmu buat melihat situasi kayak gini!”
“Iya. Aku memang nggak bisa apa-apa. Apapun yang aku lakuin semuanya salah. Aku memang bodoh. Asal kamu inget, Bima bisa marah seperti itu juga karena dosa yang kamu buat sendiri,” aku berteriak tak terima.
“Kamu harusnya nggak usah masuk dalam masalahku!”
“Aku cewek kamu. Aku nggak pengen liat kamu ketakutan lagi! Aku bosan dengan sikap posesif kamu!”
“Aku kayak gitu juga karena aku pengen melindungi kamu!” bentak Arya makin keras.
“Melindungi dari apa? Bima baik sama aku, nggak biarin aku lecet sedikit pun! Asal kamu tau, Bima mulai melupakan kesalahan kamu,” sahutku tak kalah keras
“Itu bohong! Kamu nggak akan ngerti!! Please, kamu harus percaya denganku.”
“Jelasin apa yang nggak aku ngerti! Jelasin bagian mana aku harus percaya kamu!”
Diam. Arya tak lagi menjawab, ia menundukkan kepala. “Gue nggak bisa,” desahnya.
Aku mengatur nafasku, menghapus air mataku sudah menetes sejak tadi. “Kalau begitu berhenti mengatur hidupku, berhenti melarangku, berhenti mengekangku. Aku punya hidupku sendiri yang ingin aku jalani, sama halnya dengan hidupmu yang tak ingin kamu bagi denganku. Ada hal yang ingin aku lakukan sendiri.” aku mati-matian menahan tangis kedua pipiku sudah membasah. Aku tak menunggu jawaban Arya, aku pergi, meninggalkan Arya yang masih diam tertunduk pasrah.

****

 “Hoi!”
Aku terhenyak kaget oleh suara teriakan barusan, terbangun dari lamunanku. Sontak kupandangi siapa yang mengejutkanku. Lagi-lagi Bima, bukan Arya. Kukira aku sungguh terjebak dalam lamunan, karena sama sekali tak mendengar deru suara motor Bima yang bergemuruh. Aku juga tidak mendengar suara bell pintu dibunyikan. Biarlah, toh juga cuma Bima. Aku kembali menidurkan malas kepalaku di bagian bawah jendela, berbantalkan kedua telapak tanganku yang bertumpuk, tidak peduli dengan kehadiran Bima. Aku menatap langit. Baru tersadar pula, tak ada lagi titik air menjatuhi permukaan tanah. Hujan sudah reda. Basah dan lembab. Menyisakan banyak bulir-bulir air kecil pada permukaan luar kaca jendela. Bima ikut duduk bersila di sebelahku, menatap luar, diam dan tenang, memasang wajah coolnya seperti biasa. Sesekali Bima bersuara, menggodaku, menanyakan keberadaan orang tuaku dan pembokatku yang tidak terlihat berseliweran dimana-mana. Orang tuaku sejak tadi pergi ke acara pesta perusahaan, paling-paling pulangnya larut malam, sementara Mbok Ning, nggak tau pergi kemana.
“Keluar yuk,” ajak Bima seperti biasa.
“Males,” jawabku singkat.
“Gue dari kemarin ngeliat Arya di sekitar rumah temen gue. Gue mau ngajak lu kesana kalau lu mau,” urai Bima setelah memberi waktu jeda membalas ucapanku.
Tubuhku menegak, pandanganku terkunci pada manusia di sampingku, menatap Bima lekat-lekat seolah tidak percaya. Bima hanya mengerutkan keningnya, memutar bola matanya, lalu menaikan pundaknya, ”Yah, siapa tahu,” ucapnya ringan.
Aku bangkit dari tempat dudukku. “Bang, lu tunggu di sini, gue ganti baju dulu.” Tanpa menunggu jawaban, aku segera berlari menaiki tangga ke lantai dua menuju kamarku, aku sungguh tak ingin membuang waktu. Aku meraih celana jeansku dan jaket yang menggantung di lemari pakaian terburu-buru. Baru saja aku hendak mengganti celana pendekku, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sudah ada Bima berdiri tegap di depan pintuku, ia menutup pintu kamarku lalu berbalik menatapku tajam. Aku mundur selangkah, reflek. Degup jantungku mulai beradu cepat, seluruh tubuhku gemetar. Mata teduh itu kini berubah mengerikan. “Lu mau apa, Bang?” Tidak ada jawaban, yang ada hanya langkah kaki mantap Bima menuju ke arahku, sementara aku hanya mampu mundur dengan langkah tak pasti. Baru saja mulutku terbuka, hendak berteriak minta tolong. Sekian detik saja, Bima sudah berada di hadapanku dan mendorongku, membungkam kencang mulutku hingga aku memundur dan baru terhenti ketika telah membentur dinding, ia mengurung tubuhku melekat pada dinding, aku meronta. Bola mataku berputar panik menatap Bima. Bima tersenyum tipis padaku, menggeleng pelan, memberiku isyarat untuk diam. Aku langsung mengangguk diikuti ketenangan tubuhku. Perlahan dilepaskan bekapan tangannya dari mulutku. Ia menatapku waspada, takut kalau aku tak menurutinya. Ia tersenyum lagi, setelah yakin aku tak akan berteriak, aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Menyembunyikan tangis. Bima lalu memelukku, mengusap-usap rambutku. Masih dengan wajah tertutup kedua tangan, aku terbenam di dada bidang Bima. Pasrah tak berdaya. Ia memperketat pelukannya padaku. Hembusan nafas sesegukkanku yang tak terkendali menerpa dadannya, membuatnya merasakan ketakutanku. Ia mengusap-usap pungunggku. “Jangan nangis dong,” bisikknya. Meski aku masih tak bisa menghentikan isakanku namun suasana jadi terasa sunyi. Sunyi yang mencekam dan menimbulkan ketakutan. Untuk beberapa lama kami hanya berpelukan saja. Namun bayangan mengerikan terus bermunculan memenuhi benakku. Tidak. Tidak boleh.
 “Seharusnya lu dengerin apa yang Arya omongin. Gue itu sama sekali nggak baik, lu malah nyerahin diri lu sama gue. Gue itu tipikal orang yang nggak bakal berhenti, sebelum gue mendapatkan apa yang gue mau. Dan Arya tau itu, makanya dia mati-matian menjauhin lu dari gue. Tapi lu malah datang sendiri ke gue,” tuturnya diakhiri dengan tawa. “Kenapa lu masih mikirin dia? Arya kan udah ninggalin lu. Kenapa lu nggak lupain dia aja. Dengan begitu semuanya pasti akan lebih baik.” Bima meracau, membuat tubuhku menegang. Bima mengambil nafas panjang,“Seharusnya lu nggak jadi ceweknya Arya.”
Kalimat-kalimat yang mengalir dari mulut Bima, berkali-kali membuatku menelan ludah, bergidik merinding. “Kenapa Arya suka sama lu, ya?” tanya Bima kemudian. “Menurut gue, lu biasa aja,” sambungnya. Tentu saja aku tidak bisa protes atas ucapannya. Ia merenggangkan pelukannya, membuat jarak antara tubuhnya dan tubuhku namun tak melepaskan genggaman tangannya dariku. Aku menatapnya dengan mata nanar, memelas belas kasihan. Namun, bola mata Bima justru menjelajahi tubuhku. Bima tersenyum tipis, dibungkukkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar denganku, “Gue pengen nikmatin tubuh lu dulu. Senikmat apa sih lu sampai Arya mau sama elu!”
Aku tercekat. Jantungku terasa berhenti mendengar kalimat barusan. Sesal memenuhi dadaku. Aku merasa sangat bodoh, tak menuruti Arya. Kembali aku memberontak liar, memukuli dadanya, berusaha melepaskan diri dari di dekapannya, menangis sejadi-jadinya. “Lepasin gue, Bim! Lepasin gue! Gue mohon, Bang.” Namun Bima sama sekali tak tersentuh ibanya. Pemberontakanku pun tak membuat Bima bergeming, ia justru semakin memperketat pelukannya. “Lepasin gue.. lepasin gue..,” tangisku tak ada henti. Kini Bima mulai mencium bibir, leher, bahu dan dadaku yang terlihat karena kerah bajuku yang melebar ke satu sisi, memperlihatkan tali breast-holderku, penuh nafsu. Aku menggeliat, menghindar semampuku, tak bisa berbuat banyak karena tubuhku terjebak antara dinding dan Bima. Mati sudah.
“Bangsat lu, Bim!” teriak Arya yang tiba-tiba dari belakang. Ia menarik Bima dariku, menghempaskannya ke lantai. Arya tertegun melihatku pucat pasi, basah oleh keringat dan tangis, aku menangis, menggigil ketakutan. Arya memegang tubuhku yang meluruh jatuh. Aku terduduk lemas bersandar pada dinding, aku begitu shock. “Maafin gue,” gumam Arya lirih. Aku sadar, aku melihat sebutir air jatuh menetes dengan cepat tak meninggalkan bekas. Arya meninggalkanku sendiri, ia beralih menghampiri Bima yang tergeletak di lantai. Bima sebenarnya bisa bangkit berdiri untuk kabur atau berbalik memukul Arya sejak tadi, tetapi tidak ia lakukan, ia tetap diam berbaring di lantai dan tersenyum, sudah seperti orang gila. Arya meninju Bima sekuat tenaga, persis seperti perkelahian mereka dulu. “Bajingan lu, Bim!!” Arya memaki di sela-sela pukulannya. “Gue udah turutin mau lu. Gue pergi dari dia. Tapi kenapa lu masih disini. Belum puas juga lu, hah! Brengsek lu, Bim!” Arya mengamuk hebat, ia seperti tak peduli jika ia bisa membunuhnya. Anehnya, Bima sama sekali tidak berusaha menahan serangan Arya atau mencoba berbalik melawan, ia hanya tersenyum saja, mengejek Arya. “Jangan ganggu hidup gue lagi, Bim. Gue cinta sama cewek itu. Gue sembuh. Gue bukan yang dulu!” teriak Arya keras masih di sela-sela pukulannya. Dan lagi-lagi, Bima hanya membentuk senyum di balik balutan darah yang keluar dari mulut dan hidungnya. Arya menghentikan pukulannya, lelah dan tersinggung dengan reaksi Bima, kedua tangannya berganti mencengkram kerah baju Bima. “Gue masih sayang sama lu, Ar. Lu itu milik gue selamanya. Cewek itu nggak ada apa-apanya dibanding gue” ucap Bima tersendat-sendat. “Kalau gue nggak bisa milikin elu lagi,” Bima melirik ke arahku, telunjuknya terangkat, ditunjuknya lurus lurus wajahku, “maka dia juga nggak bisa dapetin elu.” Jari-jari Arya semakin kuat mengepal. “BRENGSEK LU!!”


-THE END-