Minggu, 27 Maret 2016

Aku Wanita, dan ini Hati...

Bagiku 2 hari itu paling menyakitkan.

“Kamu mau turun main?”,tanyanya padaku dengan nada datar-datar saja, tidak antusias dan tidak menatapku. Menikmatii hisapan rokoknya sendiri saja.
Sementara teman-temanku bersemangat meyakinkanku untuk turun main. Mereka mengatakan aku bisa, aku akan menang, bahkan mereka yang sepertinya menjawabkan pertanyaan itu untukku. Mereka itulah teman sekaligus keluarga.

Aku sendiri antara kebingungan, antara ya atau tidak, atau hanya sekedar malu-malu saja. Sebenarnya aku sangat bahagia, ketika aku bermain aku merasa berguna dan membuktikan bahwa aku bisa. Namun terkadang aku merasa takut karena ini sudah pertengahan februari, aku hanya punya waktu latihan sekitar satu bulan saja, sementara yang lain sudah berlatih sejak 3 bulan yang lalu, aku juga ragu apa aku bisa. Dan bagaimana dengan………
Sudahlah..

Malu- malu kujawab “iya, aku mau main”, disambut dengan senyum dan tepuk tangan teman-temanku. Aku tersenyum, mereka, teman-temanku, juga tersenyum, kami pun berenang setelah perbincangan kecil sebelum turun ke kolam renang.
Sejak pagi itu aku resmi menjadi anggota atlit pencak silat UNNES yang akan turun bertanding di Internasional 3rd PSHT Sebelas Maret Pencak Silat kelas Seni Tunggal. Aku mulai latihan sore harinya, mengembalikan stamina, mempelajari kembali teknik-teknik gerakanku. Aku bersemangat, akan aku lakukan apapun untuk bertandingan ini.

Jam 10 malam aku belum terlelap, masih bercanda bersama teman-temanku lewat BBM. Aku tulis Personal Message di BBM tentang temanku yang terjebak di rumah calon mertua. Hari ini penuh tawa hingga Dia memarahiku. Dia, si Pelatih kami.
Dia memarahiku karena belum tidur jam 10, batas tidur atlit. Dia bilang aku kurang tau diri karena tidak manut, aku atlit, sudah didaftarkan dalam pertandingan seharusnya aku tidak egois ikut aturan atlit dan blab la blaaa….
Meskipun aku dimarahi, aku senang karena ini berarti aku benar-benar dilatih dan bisa sejenak melupakan itu.

Esok hari, di latihan pagi pukul 4.30, semua pemanasan seperti biasanya, namun berbeda dengan yang lain, aku dan salah satu teman atlit lain dihukum karena tidur lebih dari jam 10. Ketika atlit lain hanya lari 5 putaran rektorat, 5 kali repetisi endurance, aku dan pipit harus berlari 10 putaran dan 10 kali endurance. Rasanya lelahnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tapi aku kuat. Aku bisa melakukannya, aku bisa menyelesaikannya tanpa muntah, pucat atau yang lainnya. Ya, aku bisa.
Betapa semangatnya aku, berlatih pagi-sore pagi-sore mulai goyah ketika semua mulai kembali berubah. Dia kembali meminta ku membantu mengerjakan itu lagi. Mulai memarahiku untuk hal itu lagi, dan aku mulai sering tidak ikut latihan karena itu lagi. Aku mulai kecewa, aku mulai berpikir negative. Tubuhku mulai tidak stabil lagi, ketika aku memaksimalkan tubuhku ketika latihan namun aku sendiri tidak mengontrol jam istirahatku. Aku mulai goyah, bahkan 5 putaran pun aku muntah, aku tidak kuat lagi. Kakiku sakit namun tidak ada yang peduli, aku minta di massage pun yang ada hanya disalahkan tanpa ditreatment apa-apa. Yasudahlah aku tidak apa-apa, aku terima.

Sampai H-3 pertandinganku, aku masih berjibaku dengan itu. Dia bilang aku jangan berangkat dulu karena dia ingin memperbaiki gerakanku, staminaku teknikku. Aku senang ketika dia mengatakan hal itu tapi semua itu hanyalah kebohongan belaka. Dia tidak pernah datang, dia tidak pernah melatihku, dia tidak pernah membahas tentang latihankkku. Dia pembohong besar, pembual.

H-2 aku malah jatuh sakit, seandainya ada yang tau, aku sangat kecewa dengan tubuhku sendiri. Aku harus jatuh sakit didekat garis finish. Mungkin salahku, tapi mungkin juga salah dia. Dia yang masih memintaku mengurus itu lagi, menunggunya dari jam 8, namun akhirnya datang jam 11 malam, membuatku baru tertidur jam 00.30 malam. Esok pagi, latihan pagi aku mulai merasa ada yang tidak beres, namun tidak aku rasa karena aku yakin aku akan baik-baik saja. Ternyata tidak. Aku semakin memburuk. Aku lemas, panas, dan tidak berdaya.

Aku tidak ingin menyerah, aku tetap ingin bertanding. Aku tetap pergi ke solo, dengan segala kekesalan, omelan banyak orang termasuk dia yang ikut memarahiku. Dalam hati aku sangat sakit, namun aku tidak ingin berhenti. Hari Selasa, 22 Maret 2016 aku sudah sampai di Solo, GOR UNS. Aku baik, aku sehat, aku bisa. Begitu caraku menguatkan diriku sendiri karena besok aku bertanding untuk penyisihan.

Hari selasa mencapai pada malam hari, aku beristirahat untuk pertandinganku esok. Aku ingin bersiap. Pagi datang, kami berlatih ringan, aku mempersiapkan diriku, tubuhku, lalu kembali ke penginapan. Aku tidak ingin meminum obatku karena aku takut aku akan lemas, namun dia memarahiku lagi untuk meminum obat. Yasudah aku manut, dan ya, setelah itu aku lemas, berkeringat, mereka meninggalkanku di mes bersama marta untuk beristirahat. Ketika kami akan tampil kami akan dijemput. Aku tertidur namun tidak nyenyak karena aku selalu menerka-nerka jam berapa aku akan dijemput. Jam 11 siang mas dayat menelpon ku, menanyakan keadaanku. Aku bilang aku baik. Tak lama mas dayat dan mas kurni datang ke penginapan, duduk di sampingku. Wajahnya serius.
“An, keadaanmu gimana?” Tanya mas kurni
Aku mulai merasa tidak nyaman dengan ini, nada bicaranya, tatapannya, raut wajahnya tidak seperti biasanya. “Aku baik” jawabku singkat
“An, kalau misal kamu ndak kuat, kamu ga jadi ikut tanding nda apa-apa. Biar nanti aku bilang sama panitianya kamu gak bisa tanding karena sakit? Kamu kayaknya pucat gitu, itu juga untuk kesehatanmu”
Rasanya aku ingin menangis sekencang-kencanganya, hatiku hancur, tubuhku lemas mendengar pertanyaan itu. Aku ingin membanting HP yang ada di tanganku. Apa kalian tidak tau betapa aku menguatkan diriku sendiri, betapa keras aku mengalahkan rasa sakitku sendiri. Dan dengan mudahnya kalian mengatakan hal itu. ITU SANGAT JAHAT!!! DIA!!! Pasti dia yang menyuruh mas kurni dan mas dayat mengatakan hal ini padaku. DIA!! DIA ORANG JAHAT!!!
“Aku sudah disini! Untuk apa aku disini kalau tidak main?!” jawabku bergetar berusaha menahan tangis
“Bener main?” mas kurni meyakinkan
“Iya” jawabku dilantang-lantangkan
“Ya, tunggu disini. Nanti dijemput”
Mas kurni dan mas dayat pergi, mereka memintaku bersiap-siap nanti akan segera dijemput karena jadwal untuk seni tunggal main mulai jam 1 siang.
Aku dan marta bersiap-siap. Aku mulai khawatir karena sudah jam 12.15 tidak ada yang menjemputku dan marta. Aku lemas karena obat dan belum makan, aku khawatir aku tidak punya tenaga nantinya. Aku mulai deg-deg an. Hingga jam 12.30 mas rio datang menjemputku. Sesampainya di gor, aku ingin langsung bertemu kontingen untuk meminta mereka membantuku mempersiapkan diri. Tapi tidak bisa, karena mas rio menyuruhku dan marta untuk bertemu dengan Dia. Aku hanya bisa manut, dibawah pohon, di warung lesehan itu kami hanya duduk-duduk saja. Aku semakin tidak karuan, antara panic dan muak melihat wajahnya. Disaat seperti itu dia masih saja memarahiku untuk hal-hal teknis. Aku meminta teman-temanku untuk datang membantuku bersiap-siap. Mereka juga panic, mereka juga gugup karena sudah hampir jam 1 dan aku belum apa-apa. Semua dilakukan dengan tergesa-gesa, pertama aku dandan dengan tergesa-gesa, belum selesai disuruh makan, makan pun baru 3 suap sudah dimarahi tidak boleh makan lagi,. Ya Tuhan aku masih lemas!! Baru selesai minum sudah harus pemanasan lagi. AAAAAAAAAAAAAAAAhhhhhhhhhhhhh semuanya benar-benar terburu-buru. Hal yang paling membuatku muak adalah ketika aku sedang didandani, aku dengar sayup-sayup dia bilang tidak akan nonton pertandingan seni. Dalam hati, aku berteriak, PERGILAH!! PERGI YANG JAUHHH. AKU TIDAK INGIN MELIHAT WAJAHMU!! AKU MUAK DENGAN WAJAHMU
Semua siap, aku menyiapkan diri, aku berusaha tidak lapar. Aku menanti dengan gugup. Berjam-jam aku duduk saja menanti giliranku. Dan pada akhirnya aku baru tampil jam 7 malam. Ternyata aku lemas, aku tak punya tenaga. Singkat kata aku kalah. Setelah tampil aku tidak punya daya, kakiku lemas tak kuat berdiri tapi aku tidak menangis. Aku sadar diri, aku lemah, gerakan ku tidak bagus, aku menerima.

Butuh waktu beberapa menit memang untuk mengembalikan tenagaku kembali, tapi aku baik, aku plong. Hal yang tidak membuatku baik adalah Dia.
Dia meminta aku, marta dan mas kurni untuk kembali ke penginapan. Di dalam mobil dia menceramahiku tentang kondusif dan tidak, tentang prepare dan sebagainya. AKU BENCI DIA! Sesampainya di penginapan dia masih membentakku, dia memarahi mas kurni untuk segala kesiapan pertandingan. Dia dengan segala powernya selalu memarahiku, menyalahkanku dan mas kurni. Yasudahlah diterima saja.

Pagi hari, jadwal bertanding untuk ganda putra, ganda putrid, dan beregu. Kami mempersiapkan semuanya dengan sebaik mungkin. Mas dayat dan mas kurni memintaku menjadi official sementara mereka menjadi timer. Baiklah. Aku siap.

Aku menemani ganda putra, bersiap di tempatnya, mereka begitu gugup, mas kurni, mas dayat, aku dan ganda putra berdoa bersama. Khusyuk kami memohon penampilan yang maksimal. Ganda putra terlihat begitu gugup, aku mencoba menguatkan mereka, aku membuat mereka tidak gugup, setidaknya dengan tersenyum supaya tidak begitu beban. Mereka bertanding. Sorak sorai pendukung diseberang sana, sayup sayup aku melihat bayang-bayang dia. Dia yang diantara para penonton lainnya.

Wow. Itu yang dikatakannya tidak akan menonton saat seni main. Ucapannya itu yang tidak bisa dipercaya. Hatiku sakit. Seketika aku tau dia hanya malu tentang aku. Aku yang main tunggal. Dari awal dia memng tidak pernah serius melatihku.
Ganda putra lebih 6 detik dari waktu yang seharusnya, itu membuat nilai mereka minus sangat banyak. Kecewa memang, karena hal itu mereka harus puas hanya dengan juara 2. Aku menunggu giliran untuk ganda putri main. Singkat cerita aku meyakinkan mereka bahwa mereka bisa, wanita lebih riweh dari laki-laki, mereka lebih gugup. Sama seperti ganda putra, aku membuat suasana lebih cair dengan membuat mereka tersenyum, tidak tegang. Dan akhirnya saatnya mereka main. Mereka menang, mereka bermain bagus.

Kami kembali ke rombongan, dan semakin jelas kulihat dia berdiri menonton ganda main. Mereka mencium tangannya sementara aku terhenti, masih muak dengannya karena dia berada disini. Belum sempat apa-apa, tangannya menampar pipi kiri ku. Aku sangat terkejut, rasanya tidak sakit di pipi, tappi hatiku terasa sangat sesak. Rasanya sakit sekali. Apalagi ini? Salah apa lagi aku?
Dia memarahiku karena aku membuuat atlitnya tertawa saat akan bertanding, dia bialang aku seharusnya membuat atlitnya tenang, bukan tertawa-tawa. Dan bla blaa blaaaaa…….. dan pada akhirnya dia mengatakan kalau seharusnya ganda putra bisa menjadi juara 1. Dia! Ternyata dia menyalahkanku untuk kekalahan ganda putra. Kau tau betapa sakitnya aku, betapa terlukanya hatiku. Tamparan itu, kata kata itu, wajah itu menyiksaku. Bahkan kau selalu mempermalukanku di depan semuanya, seakan aku iini orang paling bodoh diantara semuanya. Aku tidak pernah kau hargai.


Dia, karena dia aku membenci diriku sendiri. Dia yang terus memarahiku untuk semua hal yang aku lakukan. Dia yang malu tentang aku. Dia yang terus memanfaatkan aku. Terima kasih untuk dia. Terima kasih karena terus membohongiku. Sekarang aku membenci dirimu! Kini, Aku sangat takut jatuh cinta lagi. Aku membenci laki-laki (lagi).